DJP Sebut Pemungutan PPh 22 oleh Marketplace Bakal Untungkan UMKM

Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menjamin pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan pedagang online yang dilakukan penyedia marketplace, tidak memberatkan para pelaku UMKM. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Senin (21/7/2025).
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan pemungutan pajak oleh marketplace justru memudahkan UMKM karena pelaku usaha tidak perlu menghitung dan menyetorkan pajak sendiri.
"Justru dengan pemungutan oleh marketplace ini menjadi simplifikasi yang besar sekali buat para pengusaha UMKM. Biasanya mereka kan jualan hitung dan setor sendiri tiap bulan," katanya.
Melalui PMK 37/2025, lanjut Yoga, marketplace kini bertugas melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22 atas penghasilan yang diterima pedagang online dalam negeri. Adapun tarif PPh Pasal 22 yang berlaku yaitu sebesar 0,5%.
Selain simplifikasi pemungutan dan penyetoran, sambungnya, marketplace tidak akan memungut PPh Pasal 22 dari pedagang online UMKM yang omzetnya di bawah Rp500 juta setahun.
"Seperti skema pemajakan PPh kita, kalau peredaran brutonya kurang dari Rp500 juta maka dia tidak akan dipungut. Karena dia dikecualikan dari kewajiban PPh, bahkan enggak perlu lapor SPT," jelasnya.
Perlu diperhatikan, UMKM harus menyampaikan surat pernyataan yang menyatakan bahwa omzet pada tahun berjalan berada di bawah Rp500 juta. Dengan surat pernyataan tersebut, marketplace tidak akan memungut PPh Pasal 22.
Lebih lanjut, Yoga menjelaskan bahwa PPh Pasal 22 sebesar 0,5% ini bukan jenis pajak baru. Pemerintah hanya menyamakan perlakuan pajak antara pedagang konvensional dan platform digital melalui penerbitan PMK 37/2025.
"Ini menciptakan kesetaraan berusaha, antara toko konvensional atau ritel yang ada fisiknya, yang selama ini diawasi KPP, dengan toko online yang enggak kelihatan fisiknya," tutur Yoga.
Selain topik tersebut, terdapat ulasan mengenai catatan DPR soal keamanan data dalam kebijakan pemungutan PPh Pasal 22 oleh marketplace. Setelahnya, ada pembahasan tentang kekhawatiran pemerintah tentang pembahasan Pilar 1 yang terus tertunda, serta penerbitan panduan lengkap coretax system bagi instansi pemerintah oleh DJP.
Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.
Pemungutan Pajak oleh Marketplace Tak Berefek ke Harga Barang
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Rosmauli menyatakan pemungutan PPh Pasal 22 oleh marketplace tidak akan berdampak pada harga jual barang. Sebab, pemungutan pajak oleh marketplace dilakukan atas penghasilan merchant di marketplace.
"Ini bukan pajak yang baru yang dikenakan atas barang. Karena ini pajak yang memang seharusnya dibayar oleh pelaku usaha yang melakukan usaha, kemudian ada penghasilan di situ, ada laba," katanya.
Rosmauli mengatakan penunjukan penyedia marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 bertujuan menciptakan keadilan berusaha (level playing field), terutama antara pelaku usaha digital dan konvensional. (DDTCNews)
Marketplace Pungut Pajak, DPR Ingatkan Soal Keamanan Data
Anggota Komisi VI DPR Rivqy Abdul Halim mendukung kebijakan penunjukan penyedia marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi jual beli di marketplace.
Rivqy mengatakan mekanisme pemungutan PPh Pasal 22 dapat mempermudah pedagang online atau merchant melaksanakan kewajiban pajaknya. Meski demikian, dia meminta otoritas pajak menyiapkan sistem yang matang, terutama menyangkut keamanan data para merchant.
"Mekanisme ini yang perlu dirancang matang oleh platform marketplace dan pemerintah," ujarnya. (DDTCNews, Antara)
Pilar 1 Tertunda, Sri Mulyani Khawatir Kepastian Pajak Melemah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam forum G-20 Finance Minister and Central Governor Bank (FMCBG) Meeting di Afrika Selatan, pekan lalu, turut menyoroti pembahasan Pilar 1 yang tak kunjung mencapai kesepakatan.
Penyelesaian pembahasan Pilar 1 dinilai penting untuk menciptakan sistem perpajakan global yang adil dan pasti. Penundaan finalisasi Pilar 1 dikhawatirkan melemahkan kepastian perpajakan global.
"Penundaan dalam finalisasi Pilar 1 ditambah dengan maraknya pajak layanan digital unilateral, berisiko memecah belah sistem dan melemahkan kepastian perpajakan," bunyi keterangan tertulis Kementerian Keuangan. (DDTCNews)
DJP Terbitkan Panduan Lengkap Coretax bagi Instansi Pemerintah
DJP menerbitkan buku Panduan Coretax Bagi Instansi Pemerintah. Sesuai dengan judulnya, panduan tersebut berisi petunjuk penggunaan coretax system bagi instansi pemerintah.
Panduan yang terdiri atas 295 halaman tersebut menjelaskan petunjuk penggunaan coretax system untuk berbagai keperluan.
"Buku ini merupakan petunjuk penggunaan aplikasi Coretax DJP khususnya terkait dengan panduan coretax bagi instansi pemerintah," tulis DJP pada panduan tersebut. (DDTCNews)
Dapat Izin Selenggarakan Pembukuan Berbahasa Asing, WP Wajib Taat Asas
Wajib pajak yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris harus melaksanakannya dengan memenuhi prinsip taat asas.
Wajib pajak yang dimaksud meliputi: (i) wajib pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan atau melakukan pencatatan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang rupiah; dan (ii) wajib pajak badan tertentu yang dapat menyelenggarakan pembukuan menggunakan bahasa Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat (AS).
Dirjen pajak dapat mencabut keputusan izin penyelenggaraan pembukuan dengan mata uang asing apabila wajib pajak tidak memenuhi prinsip taat asas. Atas pencabutan izin tersebut, kepala kantor wilayah (kanwil ) DJP akan menerbitkan surat pemberitahuan atau keputusan pencabutan izin. (DDTCNews)
(dik)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.