Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Rabu, 26 Februari 2025 | 08:15 WIB
KURS PAJAK 26 FEBRUARI 2025 - 04 MARET 2025
Rabu, 19 Februari 2025 | 09:45 WIB
KURS PAJAK 19 FEBRUARI 2025 - 25 FEBRUARI 2025
Rabu, 12 Februari 2025 | 09:27 WIB
KURS PAJAK 12 FEBRUARI 2025 - 18 FEBRUARI 2025
Rabu, 05 Februari 2025 | 11:07 WIB
PAJAK MINIMUM GLOBAL
Fokus
Reportase

Manfaat dan Tantangan Penerapan PPN Lebih dari 1 Tarif (Multitarif)

A+
A-
2
A+
A-
2
Manfaat dan Tantangan Penerapan PPN Lebih dari 1 Tarif (Multitarif)

Buku yang telah diterbitkan DDTC. Hingga saat ini, DDTC telah menerbitkan 30 buku perpajakan. 

PRESIDEN Prabowo Subianto menyatakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% paling lambat mulai 1 Januari 2025 akan tetap dieksekusi. Namun, Prabowo menegaskan pemerintah akan selektif, yakni mengenakan tarif 12% hanya untuk barang mewah.

Sejalan dengan hal tersebut, DPR dan pemerintah juga akan melakukan kajian atas skema multitarif PPN. Sejatinya, skema multitarif sempat menjadi usulan dalam pembahasan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, pemerintah dan DPR kala itu tidak bersepakat.

Multitarif PPN memang menjadi salah satu tren global. Selain tarif yang berlaku secara umum, berbagai negara mengenakan tarif khusus bagi barang dan/atau jasa kena pajak tertentu. Tarif khusus itu bisa berupa tarif 0%, penurunan tarif (reduced rate), atau justru tarif yang lebih tinggi.

Baca Juga: Sengketa PPN atas Penyerahan Jasa Asuransi Unit Link

Skema multitarif PPN juga telah diulas dalam 3 buku DDTC, yakni Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai; Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional; dan Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional.

Ebrill et al. (2001), yang dikutip dalam ketiga buku terbitan DDTC tersebut, berpandangan penerapan multitarif PPN dapat memberikan beberapa manfaat. Salah satunya adalah efisiensi. Aspek inilah yang mendasari terciptanya kebijakan yang dikenal sebagai ‘aturan elastisitas terbalik’.

Dalam konsep ‘aturan elastisitas terbalik’, ada penerapan tarif PPN lebih rendah atas komoditas dengan tingkat permintaan elastis serta penerapan tarif PPN lebih tinggi atas komoditas dengan tingkat permintaan yang tidak elastis.

Baca Juga: Hati-Hati! Penghapusan Sanksi Coretax Tidak untuk Semua Masa Pajak

Kebijakan itu bertujuan untuk meminimalisasi dampak pengenaan pajak terhadap pola konsumsi sehingga dapat menciptakan efisiensi pengenaan PPN. Adanya rentang yang luas antara tarif PPN tertinggi dan tarif PPN terendah juga dianggap mampu menghasilkan penerimaan lebih tinggi.

Kemudian, ada manfaat keadilan. Aspek ini dianggap menjadi alasan paling penting. Contoh, menerapkan tarif PPN yang berbeda atas barang yang hanya dapat dikonsumsi oleh pihak-pihak yang mempunyai penghasilan tinggi. Dengan demikian, ada ekspektasi terciptanya distribusi penghasilan yang adil.

Berdasarkan pada survei International Monetary Fund (IMF), dari 48 negara yang menerapkan PPN sebelum 1990, 36 di antaranya menggunakan lebih dari satu tarif. Dalam perkembangannya, seiring dengan bertambahnya jumlah negara yang menerapkan PPN, terjadi perubahan penerapan tarif, yaitu makin banyak negara yang menerapkan PPN dengan tarif tunggal.

Baca Juga: Memahami Tarif Tunggal dalam Sistem PPN di Indonesia, Baca Buku Ini!

Hingga April 2001, jumlah negara yang menerapkan PPN adalah sebanyak 124 negara. Dari jumlah ini, sebanyak 68 negara menerapkan tarif tunggal, sedangkan sisanya sebanyak 56 negara menerapkan PPN dengan lebih dari satu tarif.

Namun demikian, negara yang tampaknya menerapkan tarif tunggal, dalam praktiknya tidak sepenuhnya benar-benar menerapkan tarif tunggal. Sebagai contoh, Jamaika yang juga mengenakan PPN dengan tarif bervariasi atau dikenal dengan istilah ‘anarchy in tax rate’.

Selama 15 tahun terakhir, ada tendensi rata-rata tarif PPN global naik perlahan. Hal ini mengindikasikan beberapa hal, salah satunya adalah penggunaan ‘resep’ lain, seperti pengurangan fasilitas atau penyesuaian reduced rate (DDTC Fiscal Research & Advisory, 2021).

Baca Juga: Rumah Sakit Wajib Tahu! Ini Kewajiban Pajak yang Tak Bisa Diabaikan

Tidak terdapat konsensus mengenai skema tarif PPN yang terbaik dan setiap negara berwenang untuk menentukan pilihannya (Darussalam, 2021). Dengan demikian, kebijakan tarif PPN antarnegara dapat berbeda meskipun skema multitarif kian banyak diadopsi dewasa ini. Simak pula ‘Memandang Secara Jernih Rencana Kenaikan Tarif PPN 12%’.

Tantangan

Jika kembali pada konsep dasar, PPN merupakan pajak yang dikenakan atas seluruh konsumsi barang atau jasa kena pajak yang bersifat umum (general tax on consumption). Tidak ada perbedaan antara konsumsi atas barang dan jasa.

PPN ‘menutup mata’ mengenai kondisi pihak yang melakukan konsumsi. Artinya, beban pajak yang sama akan diterima konsumen dengan latar belakang kelompok penghasilan apapun. Baik kaya atau miskin, sejahtera atau prasejahtera, berpenghasilan tinggi atau rendah (Kristiaji, 2021).

Baca Juga: Pengumuman! DJP Akhirnya Rilis Keputusan Penghapusan Sanksi Coretax

Dengan konsep dasar tersebut, sejatinya saran dari para ahli tentang tarif PPN sangat sederhana, yaitu penerapan tarif tunggal (single rate). Cnossen (2017) berpendapat sistem terbaik adalah sistem PPN yang memberlakukan satu tarif seragam atas penyerahan barang dan jasa di dalam negeri.

Pasalnya, ada potensi tingginya biaya administrasi dan biaya kepatuhan jika multitarif PPN diterapkan. Selain itu, ketiga buku terbitan DDTC itu juga telah menjabarkan beberapa aspek yang perlu untuk dipertimbangkan menyangkut multitarif PPN. Tujuannya agar ada mitigasi risiko sejak dini.

Salah satunya adalah distorsi terhadap pilihan produsen dan konsumen sehingga kegiatan ekonomi tidak menguntungkan. Kemudian, munculnya ketidakpuasan dari sisi produsen dan konsumen yang ingin memperoleh keuntungan dari perbedaan tarif (semua ingin mendapat tarif yang rendah).

Baca Juga: Bappenas: Tarik Investasi, Insentif Pajak Bukan Fokus Utama

Selain itu, penerapan lebih dari satu tarif PPN dapat berarti rata-rata tarif yang lebih tinggi dibutuhkan untuk mencapai jumlah penerimaan yang ditargetkan. Hal ini mengakibatkan tingginya biaya ekonomi yang digunakan untuk mengenakan PPN.

Tarif PPN yang lebih tinggi atas barang mewah belum tentu efektif meningkatkan progesivitas karena kurang ditargetkan dengan baik. Sebaliknya, penerapan tarif PPN yang lebih rendah atas barang atau jasa yang merupakan kebutuhan pokok umumnya tidak ditargetkan dengan baik dan tidak efektif.

Terlepas dari hal tersebut, pada kenyataannya, terdapat berbagai penyimpangan (deviasi) dari konsep awal PPN karena ada tujuan lain (seperti keberpihakan) yang diakomodasi. Misal, penerapan tarif lebih rendah (reduced rate), tarif 0%, pemberian pembebasan PPN, dan lainnya.

Baca Juga: Ditanya DPR, Kemenkeu Malaysia Tegaskan Penerapan PPnBM Masih Ditunda

Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia saat ini? Sesuai dengan undang-undang, Indonesia masih menganut PPN dengan skema tarif tunggal. Berdasarkan pada Pasal 7 UU PPN, tarif PPN di Indonesia sebesar 11% (saat ini) dan 12% (paling lambat mulai 1 Januari 2025).

Di sisi lain, dengan prinsip destinasi, UU PPN juga mengenakan tarif 0% atas ekspor barang kena pajak (BKP) berwujud; ekspor BKP tidak berwujud; serta ekspor jasa kena pajak (JKP). Dengan skema tarif 0%, pajak masukan yang telah dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.

Selain itu, tarif normal PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% melalui peraturan pemerintah. Kewenangan ini diberikan berdasarkan pertimbangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.

Baca Juga: Perbedaan Pengkreditan Pajak Masukan dan Restitusi Kelebihan PPN

Selain itu, pemerintah juga memberikan pembebasan PPN. Meskipun barang dan jasa, seperti barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan dan kesehatan, serta jasa transportasi sudah menjadi BKP dan JKP, pemerintah masih memberikan fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan (Pasal 16B UU PPN).

UU PPN Indonesia juga menganut pengenaan PPnBM sebagai pajak tambahan atas penyerahan BKP yang tergolong mewah. Simak pula ‘Pasang Surut Pengenaan PPnBM di Indonesia’. Barang-barang mewah inilah yang rencananya akan mendapat kenaikan tarif PPN menjadi 12%.

Pertanyaannya, jika secara undang-undang Indonesia masih menganut skema tarif tunggal, apakah ada perubahan payung hukum kebijakan PPN di Indonesia? Kita nantikan.

Baca Juga: Bangun Ekosistem Perpajakan yang Komplet, DDTC Ambil Peran Strategis

Sebagai informasi kembali, selain ketiga buku tersebut, buku berjudu Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran juga memuat artikel terkait dengan skema multitarif PPN. Berbagai gagasan lain terkait dengan PPN, seperti restitusi dan kebijakan untuk pengusaha kecil, juga diulas dalam buku ini.

Hingga saat ini, DDTC sudah menerbitkan 30 buku. Selain wujud nyata dari komitmen sharing knowledge, hal tersebut juga bagian dari pelaksanaan beberapa misi DDTC, yakni berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak dan mengeliminasi informasi asimetris. Simak ‘Kontribusi untuk Negeri, DDTC Sudah Terbitkan 30 Buku Perpajakan’. (kaw)

Baca Juga: Pentingnya Tahapan Pendahuluan dalam Transaksi Afiliasi

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : buku, buku pajak, DDTC, literatur perpajakan, belajar pajak, konsep pajak, buku DDTC, PPN, multitarif PPN

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 24 Februari 2025 | 10:30 WIB
LITERATUR PAJAK

Penentuan Saat Terutangnya PPN, Simak Ulasan Selengkapnya di Buku PPN

Senin, 24 Februari 2025 | 07:30 WIB
PARTNER OF DDTC CONSULTING YUSUF WANGKO NGANTUNG:

Transfer Pricing, Aspek Normal dalam Operasi Perusahaan Multinasional

Sabtu, 22 Februari 2025 | 14:00 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

PPN Ditanggung Pemerintah atas Rumah, DJP Rilis Keterangan Resmi

Jum'at, 21 Februari 2025 | 18:17 WIB
TAX CENTER USU

Belajar Tax Refund, Mahasiswa USU Sambangi Konter Pajak di Kuala Namu

berita pilihan

Jum'at, 28 Februari 2025 | 19:30 WIB
THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Berlakukan Pajak Turis pada Akhir Tahun

Jum'at, 28 Februari 2025 | 19:00 WIB
PMK 15/2025

Pemeriksaan Terfokus, Pemeriksa Wajib Sampaikan Pos SPT yang Diperiksa

Jum'at, 28 Februari 2025 | 17:03 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPN atas Penyerahan Jasa Asuransi Unit Link

Jum'at, 28 Februari 2025 | 17:00 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Pemeriksaan Fisik Barang Impor?

Jum'at, 28 Februari 2025 | 16:30 WIB
REKAP PERATURAN

Simak! Daftar Peraturan Perpajakan yang Terbit sepanjang Februari 2025

Jum'at, 28 Februari 2025 | 16:00 WIB
LAYANAN PAJAK

Hati-Hati Penipuan Berkedok Pemutakhiran Data NPWP via Coretax

Jum'at, 28 Februari 2025 | 15:30 WIB
RPJMN 2025-2029

Masuk RPJMN 2025-2029, Pertumbuhan Ekonomi 2029 Ditarget Tembus 8%

Jum'at, 28 Februari 2025 | 15:21 WIB
KONSULTASI PAJAK

Bangun Usaha di Kawasan Industri? Ini Menu Insentif Perpajakannya

Jum'at, 28 Februari 2025 | 15:00 WIB
SELEBRITAS

Ajak WP Segera Lapor SPT Tahunan, Jonatan Christie: Jangan Ditunda

Jum'at, 28 Februari 2025 | 14:30 WIB
KEP-67/PJ/2025

Tak Kena Sanksi! PPh Masa Januari 2025 Disetor Paling Lambat Hari Ini