Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Fokus
Reportase

Menanti Gebrakan Prabowo dalam Mendirikan Badan Penerimaan Negara

A+
A-
1
A+
A-
1
Menanti Gebrakan Prabowo dalam Mendirikan Badan Penerimaan Negara

MENGENAKAN setelan jas berwarna gray khaki dipadu dengan kemeja biru muda yang kontras, serta dasi berwarna merah, Prabowo Subianto dengan suara lantang menyampaikan visi misi serta programnya di bidang ekonomi.

Banyak hal yang disampaikan Prabowo di hadapan para ekonom dan stakeholder lainnya dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia Ballroom Menara Bank Mega pada 8 November 2023. Salah satu yang diungkapkan ialah rencana mendirikan Badan Penerimaan Negara (BPN).

"Kita perlu berani belajar dari pengalaman orang lain atau negara maju, bahwa policy making anggaran dan revenue collection di Kementerian Keuangan itu perlu dipisahkan," katanya saat menyoroti kinerja rasio perpajakan Indonesia yang masih rendah.

Baca Juga: Permohonan Penetapan Daerah Tertentu Kini Bisa Diajukan via Coretax

Dalam rencana besar yang diusulkan Prabowo, pemisahan fungsi perumusan kebijakan anggaran dan pengumpulan penerimaan di Kementerian Keuangan memang menjadi salah satu langkah strategisnya untuk meningkatkan tax ratio.

Pembentukan BPN bahkan masuk ke dalam 8 Program Hasil Cepat Terbaik Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Harapannya, pembentukan BPN dapat mendukung tercapainya target rasio pendapatan negara hingga menembus 20%.

Wacana pembentukan BPN tersebut juga selangkah mendekati kenyataan seusai Prabowo-Gibran memenangkan pemilu 2024. Rencananya, mereka akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden 2024-2029 pada Oktober ini.

Baca Juga: Didanai Pajak, Dapur MBG Akan Rekrut Masyarakat Termiskin Jadi Pegawai

Di tengah persiapan pelantikan presiden baru, pemerintahan saat ini juga tidak tinggal diam. Mereka mulai merumuskan draf Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 dengan turut memasukkan program-program yang telah dijanjikan presiden terpilih, termasuk pendirian BPN.

Namun, perlu diketahui, ide pembentukan BPN sesungguhnya bukan hal yang baru. Presiden Joko Widodo juga pernah mewacanakan ide tersebut saat berkompetisi dalam pemilu 2014. Sayangnya, wacana tersebut tak kunjung terealisasi hingga saat ini.

Pada 2015, Jokowi sempat merilis amanat presiden (Ampres) guna membentuk Badan Penerimaan Perpajakan yang terpisah dari Kementerian Keuangan. Namun, pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan justru terganjal di DPR.

Baca Juga: Soal PPN DTP Bekal TNI, Pembetulan SPT Masa Maksimal Februari 2026

Komisi XI mengaku revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)—yang menjadi landasan hukum untuk pembentukan badan penerimaan perpajakan—tak kunjung dibahas karena ada beberapa fraksi yang belum menyampaikan Daftar Inventaris Masalah (DIM).

Melchias Markus yang kala itu menjabat Ketua Komisi XI juga mengungkapkan bahwa pemerintah masih belum satu suara tentang beberapa hal dalam revisi UU KUP, terutama soal pembentukan badan penerimaan perpajakan. Hari pun terus berlalu, wacana tersebut tak kunjung terealisasi.

Kelembagaan Pajak di Kancah Internasional

Model otoritas pajak yang berada dalam garis struktur tradisional, seperti direktorat khusus di bawah Kementerian Keuangan, makin banyak ditinggalkan. Dalam 2 dekade terakhir ini, tren pembentukan otoritas pajak semiotonom dan terpisah dari Kementerian Keuangan terus berkembang.

Baca Juga: Jakarta Beri Diskon Pajak Bahan Bakar hingga 80%, Begini Ketentuannya

Berbagai negara membentuk atau mentransformasi lembaga otoritas pajak menjadi sebuah lembaga yang lebih otonom. Tujuannya, mengejar penerimaan pajak yang optimal, meningkatkan pelayanan pajak, dan memperbaiki tata kelola pemerintahan di sektor pajak.

Perkembangan pendirian otoritas pajak semiotonom (Semi-Autonomous Revenue Authority/SARA) di berbagai negara juga turut diangkat IMF melalui laporannya berjudul ISORA 2018: Understanding Revenue Administration.

Dari total 159 negara yang disurvei pada 2017, sekitar 47% atau 74 negara yang telah menerapkan otoritas pajak semiotonom. Dari 74 negara ini, 39 negara di antaranya ialah negara berpenghasilan tinggi (higher income).

Baca Juga: Pajak Berisyarat DJP Jadi Finalis Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik

Setelah itu, sebanyak 25 negara berpenghasilan rendah (lower income) dan 10 negara kecil (small state) membentuk otoritas pajak semiotonom. Dari laporan tersebut, bisa dikatakan negara maju cenderung untuk menerapkan SARA.

Terdapat beberapa pertimbangan yang mendorong berbagai yurisdiksi mengimplementasikan SARA. Menurut Raul Felix Junquera-Varela dkk (2019), setidaknya terdapat 3 alasan utama yang mendasari keputusan tersebut.

Pertama, sebagai upaya untuk mengurangi intervensi politik dalam operasi administrasi pajak. Kedua, pembentukan SARA memberikan lebih banyak tanggung jawab dan akuntabilitas kepada para pengambil kebijakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Baca Juga: Aturan PPN DTP atas Bekal Khusus Operasi Militer, Download di Sini!

Ketiga, pendirian SARA memberikan fleksibilitas dalam urusan penganggaran dan pengelolaan sumber daya manusia. Intinya, badan yang fokus pada penerimaan negara dianggap dapat lebih efektif mengejar kepatuhan pajak dan mengurangi potensi kebocoran.

Hal ini juga sejalan dengan studi yang dilakukan DDTC dalam Working Paper Tax Law Design and Policy Series No. 0213, Agustus 2013 berjudul The Myths and Realities of Tax Performance Under Semi-Autonomous Revenue Authorities.

Dalam studi yang dilakukan oleh B. Bawono Kristiaji dan Adri A. L. Poesoro tersebut ditegaskan bahwa yurisdiksi yang menerapkan SARA ternyata lebih memiliki kemampuan dalam mengumpulkan penerimaan ketimbang non-SARA.

Baca Juga: Ringankan Beban Pajak, Kebijakan PPN di Negara Ini Bakal Direformasi

Contoh keberhasilan penerapan SARA bisa dilihat dari pengalaman Peru. Pada 1990-1991, badan semiotonom mulai diterapkan di Negara Inkas. Pada 1992, rasio pajak (di luar iuran jaminan sosial) tercatat 11,99%.

Selang 5 tahun, kinerja rasio pajak di Peru meningkat menjadi 14,24%. Tentu, kinerja yang positif ini juga tak bisa dilepaskan dari dukungan politik yang kuat dari Kantor Kepresidenan dan Kementerian Keuangan.

Dari penerapan badan pajak semiotonom, produktivitas PPN dan kepatuhan PPN di Peru juga tercatat meningkat secara substansial. Pada 1990, tingkat produktivitas PPN hanya 11%. Pada 2003, produktivitas PPN sudah menjadi 36,73%.

Baca Juga: PMK 37/2025 Sudah Berlaku, Pemungutan PPh 22 Masih Tunggu Kepdirjen

Hal yang sama juga terjadi pada tingkat kepatuhan PPN yang meningkat pesat dari 10,83% pada 1990 menjadi 35,29% pada 2003. Tak hanya itu, penerapan badan pajak semiotonom di Peru ternyata turut menurunkan tingkat korupsi dan meningkatkan pelayanan publik.

Penentu Keberhasilan SARA

Namun, pembentukan BPN di Indonesia tidaklah semudah membalikkan tangan. Menurut Kadin Indonesia, pemerintah perlu berhati-hati dalam merealisasikan pembentukan BPN karena dapat berpengaruh terhadap sistem pengelolaan keuangan negara.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Suryadi Sasmita mengatakan otoritas penerimaan negara yang terpisah dari Kementerian Keuangan bukan hal yang sederhana, terutama dalam hal menyinkronkan antara policy maker dan pemungut penerimaan.

Baca Juga: Indonesia Issues Taxpayers‘ Charter as Reference for DGT Staff on Duty

“Kalau lembaganya berbeda, nanti untuk menyinkronkannya tidak mudah,” kata Suryadi.

Dia khawatir pembentukan BPN akan menyebabkan pengelolaan keuangan negara menjadi tidak proporsional. Dalam hal ini, belanja negara berpotensi lebih besar tanpa mempertimbangkan beban otoritas penerimaan negara.

Selain itu, berkaca dari pengalaman Jokowi sebelumnya, tantangan birokrasi dan prioritas kebijakan pemerintah tentu perlu menjadi tantangan tersendiri. Namun, terlepas dari berbagai tantangan hal itu, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pemangku kepentingan jika akhirnya akan menerapkan otoritas pajak semiotonom.

Baca Juga: RI Kini Punya Piagam Wajib Pajak, Jadi Acuan Pegawai DJP Saat Bertugas

Pertama, pembentukan SARA hendaknya tidak dilihat sebagai obat mujarab yang pasti manjur. Dikutip dari Inside Tax edisi 16 (Juli-Agustus 2013), pembentukan SARA berpotensi menciptakan biaya yang besar, waktu yang tidak sebentar, serta belum menjamin perbaikan efektivitas otoritas pajak.

Kedua, sebelum mempertimbangkan desain kelembagaan pajak, ada baiknya untuk mengidentifikasi permasalahan dan kekurangan yang berada dalam administrasi perpajakan terlebih dahulu serta mempelajari reformasi dan modernisasi dari kasus negara lain. Hal ini untuk mengelaborasi sejauh mana SARA bisa menjadi jawaban permasalahan dan merupakan salah satu aspek dari reformasi perpajakan.

Ketiga, komitmen politik merupakan salah satu syarat penting dalam mencapai otoritas pajak yang efektif dan berkelanjutan.

Baca Juga: Pendaftar USKP II/2025 yang Lolos Verifikasi Akan Diumumkan 1 Agustus

Terakhir, pembentukan SARA yang tidak diiringi dengan komitmen dan perencanaan matang terkait dengan reformasi perpajakan tidak akan berhasil memperbaiki efektivitas sekaligus meningkatkan kepatuhan pajak.

Belajar dari negara-negara yang telah menerapkan SARA, terdapat beberapa kunci yang dapat menentukan keberhasilan SARA. Pertama, perlunya karakter, profesionalisme, dan kepemimpinan yang kuat dalam SARA guna mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Kedua, pengaturan hukum yang mengatur hubungan antara SARA dan lembaga lainnya, terutama, Kementerian Keuangan, sehingga mencegah konflik antarlembaga.

Baca Juga: Gandeng Aparat Penegak Hukum, DJBC Gencarkan Pengawasan dan Penindakan

Ketiga, kemampuan dalam mendesain, menegakkan, dan mengimplementasikan akuntabilitas internal dan eksternal, serta mekanisme antikorupsi.

Keempat, pembiayaan yang memadai untuk membiayai kegiatan operasional SARA dan penyediaan infrastruktur SARA. Terakhir, pemberian dan pemeliharaan otonomi untuk mengelola sistem kepegawaian dan pembiayaan.

Pertanyaan besar selanjutnya apakah pembentukan BPN akan menjadi salah satu fokus utama dalam pemerintahan Prabowo atau tidak. Dari berbagai indikasi, tampaknya isu ini akan menjadi salah satu prioritas Prabowo-Gibran dalam jangka waktu dekat.

Baca Juga: Lupa Centang Uang Muka, PKP Diimbau Bikin Faktur Pajak Pengganti

Dengan rencana yang matang dan dukungan dari berbagai pihak, pembentukan BPN diharapkan dapat membawa angin segar bagi sistem perpajakan Indonesia. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : round up, fokus, badan penerimaan negara, pajak dan politik, pakpol, prabowo subianto, pajak, nasional

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jum'at, 25 Juli 2025 | 14:30 WIB
KP2KP SINJAI

Bahas Mekanisme PHTB Via Lelang, Fiskus Beberkan Aturan Pajaknya

Jum'at, 25 Juli 2025 | 14:00 WIB
KOTA BENGKULU

Karena Faktor Ini, Realisasi PBB-P2 Dilaporkan Melonjak

Jum'at, 25 Juli 2025 | 13:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Istri Lapor SPT Sendiri, Apa Bedanya Pisah Harta dan Memilih Terpisah?

berita pilihan

Sabtu, 26 Juli 2025 | 14:00 WIB
CORETAX SYSTEM

Permohonan Penetapan Daerah Tertentu Kini Bisa Diajukan via Coretax

Sabtu, 26 Juli 2025 | 13:30 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kementerian Komdigi Tegaskan Tidak Serta Merta Kirim Data WNI ke AS

Sabtu, 26 Juli 2025 | 13:00 WIB
CORETAX SYSTEM

DJP Kirim Email ke 1,8 Juta Wajib Pajak, Ada Apa?

Sabtu, 26 Juli 2025 | 12:30 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Didanai Pajak, Dapur MBG Akan Rekrut Masyarakat Termiskin Jadi Pegawai

Sabtu, 26 Juli 2025 | 12:00 WIB
PMK 44/2025

Soal PPN DTP Bekal TNI, Pembetulan SPT Masa Maksimal Februari 2026

Sabtu, 26 Juli 2025 | 11:15 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

Pajak Berisyarat DJP Jadi Finalis Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik

Sabtu, 26 Juli 2025 | 11:00 WIB
INFOGRAFIS PERPAJAKAN

Alur Penyampaian Keberatan di Bidang Kepabeanan dan Cukai via CEISA 4.

Sabtu, 26 Juli 2025 | 10:30 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN

DJBC Perkuat Pengawasan BKC Ilegal di Pelabuhan dan Perbatasan