Reformasi Perpajakan Belum Usai, PR Besar Menanti Dirjen Pajak Baru

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto (kiri) menerima berkas memori laporan kinerja yang diserahkan oleh mantan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo (kanan) saat pelantikan pejabat eselon I Kementerian Keuangan di Aula Mezanine Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (23/5/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym.
SEBUAH tongkat estafet berpindah tangan di Ditjen Pajak (DJP). Pada Jumat (23/5/2025), Bimo Wijayanto resmi dilantik sebagai dirjen pajak menggantikan Suryo Utomo. Ucapan selamat mengalir deras, disertai sorotan kamera dan harapan baru.
Namun, di balik seremoni pelantikan itu, ada pesan penting yang seharusnya tak terabaikan: reformasi perpajakan Indonesia masih jauh dari selesai.
Pundak dirjen pajak baru memang dibebani tugas yang berat. Namun, pengerjaannya bukan dimulai dari nol. Bimo 'hanya' perlu memastikan kesinambungan reformasi pajak yang telah digagas selama bertahun-tahun.
Ada beberapa target perbaikan yang dipesankan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Bimo Wijayanto. Antara lain, kinerja tax ratio, pelayanan pajak, transparansi, kepastian aturan, hingga tata kelola pajak. Harapan ini juga tak berbeda jauh saat Suryo Utomo dilantik sebagai dirjen pajak pada 2019.
“Kemenkeu sebagai pengelola tugas penerimaan negara harus mampu menjawab [tantangan dalam] menaikkan tax ratio. Coretax juga perlu diperbaiki agar wajib pajak mendapatkan pelayanan dengan mudah,” tegas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Lantas, apa saja daftar pekerjaan rumah dirjen pajak baru?
Tantangan Coretax dan Data Pihak Ketiga
Salah satu warisan terbesar dari masa kepemimpinan Suryo Utomo ialah pengembangan coretax system. Sistem ini merupakan tulang punggung bagi pembaruan administrasi perpajakan yang lebih modern, efisien, dan berbasis data.
Melalui coretax system, DJP mengintegrasikan proses bisnis perpajakan ke dalam satu sistem. Sayang, dalam awal penerapannya, wajib pajak malah terkendala saat mengakses sistem baru tersebut. Simak Coretax dalam Transisi: Harapan dan Tantangan Penerimaan di Awal Tahun.
DJP tentu tak tinggal diam dan terus melakukan berbagai perbaikan. Dalam catatan terakhir Suryo Utomo, DJP tengah mengatasi bug pada 18 proses bisnis. Rencananya, bug tersebut akan diperbaiki selambat-lambatnya Juli 2025.
Selain itu, DJP juga menjanjikan migrasi data dari sistem lama ke coretax system rampung pada Desember 2025. Tak ketinggalan, DJP juga akan merampungkan peningkatan infrastruktur coretax system pada Juli 2025.
Tantangan Bimo terhadap coretax system ialah memastikan proyek raksasa ini berjalan sesuai dengan jalur tanpa terjebak pada masalah teknis. Sri Mulyani bahkan memberikan 1 bulan untuk Bimo dalam meneliti persoalan coretax system.
Di luar sistem, reformasi juga menyangkut pemanfaatan data pihak ketiga. Dalam beberapa tahun terakhir, DJP juga telah menghimpun data sebanyak-banyaknya dari Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak lain (ILAP).
Kerja sama antara DJP dan ILAP, seperti pemerintah daerah, asosiasi pengusaha, hingga perbankan, telah banyak dilakukan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pemerintah juga telah mengumpulkan data dari program tax amnesty yang telah dilakukan beberapa kali.
Namun, data yang terkumpul tak serta-merta berarti kepatuhan meningkat. Tantangan yang menanti Bimo ialah bagaimana memanfaatkan informasi itu untuk memperkuat pengawasan dan memperluas basis pajak sehingga mengerek kepatuhan dan penerimaan.
Terlebih, persoalan yang muncul selama ini muncul ialah kapasitas analitik internal DJP yang masih terbatas, baik dari sisi sistem maupun sumber daya manusia. Simak DJP Diimbau Manfaatkan Data Tax Amnesty untuk Petakan Kepatuhan WP.
Tantangan Tax Ratio dan Kepastian Aturan Pajak
Sementara itu, upaya memperluas basis pajak atau ekstensifikasi juga masih menjadi pekerjaan rumah besar. Dalam 4 tahun terakhir, jumlah wajib pajak hasil ekstensifikasi cenderung menurun. Pada 2020, jumlah wajib pajak hasil ekstensifikasi sempat mencapai 112.519 wajib pajak.
Tahun berikutnya, jumlah tersebut merosot menjadi 30.927 wajib pajak. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, trennya meningkat menjadi 34.599 wajib pajak pada 2022, 73.631 wajib pajak pada 2023, dan sebanyak 72.640 wajib pajak pada 2024.
Dalam ekstensifikasi ini, DJP sesungguhnya telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya ialah pengembangan aplikasi SIDJP NINE Modul Ekstensifikasi dari tahun ke tahun dalam mendukung kegiatan pengumpulan data lapangan (KPDL).
Di sini, Bimo harus memastikan tren positif tersebut tidak hanya berhenti sebagai angka, tetapi benar-benar terjaga secara berkelanjutan. Tidak cukup hanya menambah daftar wajib pajak baru, tetapi juga harus dipastikan mereka berkontribusi nyata terhadap penerimaan negara.
Tak kalah penting, reformasi perpajakan juga menyangkut soal kepercayaan publik. Sri Mulyani lagi-lagi mengingatkan pentingnya integritas di lingkungan Kementerian Keuangan. Dia bahkan menyebut integritas sebagai currency di Kementerian Keuangan.
Dengan kata lain, di Kementerian Keuangan, integritas merupakan modal utama. Integritas menjadi nilai yang menentukan apakah seseorang dipercaya atau tidak, apakah kebijakan bisa dijalankan dengan efektif atau tidak. Ini juga memengaruhi kerelaan masyarakat membayar pajak.
Salah satu upaya Kemenkeu dalam meningkatkan kepercayaan publik ialah dengan menggencarkan sosialisasi kepada wajib pajak perihal sarana pengaduan pelanggaran melalui wise.kemenkeu.go.id, ataupun email [email protected].
Bagi Bimo, menjaga reputasi DJP sebagai lembaga yang profesional, adil, dan melayani akan menjadi ujian besar. Penegakan hukum pajak harus dilakukan secara transparan, tidak diskriminatif, dan berbasis data. Tanpa itu, kepercayaan publik akan sulit dibangun.
Selanjutnya, hal yang paling diharapkan untuk segera melesat ialah tax ratio. Dalam 5 tahun terakhir, tren tax ratio relatif masih stagnan pada kisaran 10%. World Bank bahkan memperkirakan tax ratio Indonesia akan sulit beranjak dari level 10% hingga 2027 mendatang.
Selain itu, ada satu hal besar lagi yang perlu menjadi perhatian dirjen pajak baru, yaitu memberikan kepastian kepada wajib pajak. Kepastian di sini mencakup banyak aspek, mulai dari kepastian dalam pengembalian restitusi, kepastian untuk tidak diperiksa jika telah patuh, hingga kepastian lainnya dalam penerapan hak dan kewajiban perpajakan.
Tanpa kepastian, hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak akan terus diwarnai ketidakpercayaan, yang pada akhirnya melemahkan fondasi kepatuhan sukarela.
Contoh nyata lainnya adalah soal kepastian aturan pajak. Lihat saja penerapan pajak karbon yang tidak kunjung diberlakukan, padahal sudah tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Ada lagi, peraturan perpanjangan tarif PPh final 0,5% untuk UMKM orang pribadi juga belum terbit, meski pemerintah menegaskan bahwa UMKM sudah bisa memanfaatkan skema tersebut hingga 2025.
Semua itu mencerminkan betapa pentingnya pemerintah menjaga konsistensi dalam penyusunan dan penerapan aturan, supaya wajib pajak punya pegangan yang jelas dan tidak dihadapkan pada ketidakpastian.
Jika ada satu hal yang harus dipegang oleh Bimo Wijayanto, itu adalah pentingnya konsistensi. Reformasi perpajakan adalah agenda jangka panjang yang tidak bisa ditentukan oleh 1-2 orang atau 1-2 tahun kepemimpinan.
Tantangan terbesar bukan membuat gebrakan baru, melainkan memastikan agar semua pilar yang sudah dibangun tetap tegak dan makin diperkuat.
Tongkat estafet sudah berpindah tangan. Kini, tugas berat menanti untuk memastikan agar pekerjaan rumah lama benar-benar bisa dituntaskan — demi sistem perpajakan yang lebih modern, adil, dan berkelanjutan. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.