DPR Usulkan Skema Tarif PBB P5L Progresif untuk Tanah Telantar

Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi mengusulkan pemberlakuan skema tarif pajak bumi dan bangunan perkebunan, perhutanan, pertambangan migas, pertambangan minerba, dan sektor lainnya (PBB P5L) progresif terhadap tanah-tanah telantar yang tidak produktif.
Dede mengatakan tarif PBB P5L yang lebih tinggi dapat dikenakan atas tanah berstatus hak guna usaha (HGU), tetapi tidak dimanfaatkan. Menurutnya, kebanyakan tanah-tanah tersebut hanya dijadikan dijadikan agunan atau kolateral di bank sehingga tidak memiliki nilai tambah.
"Lahan yang dikuasai dan dijadikan kolateral mungkin bisa mendapatkan kredit puluhan bahkan ratusan triliun. Nah, ini [perlu dikenakan] pajak progresif," katanya dalam rapat bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dikutip pada Rabu (2/7/2025).
Tarif PBB P5L saat ini ditetapkan sebesar 0,5% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP merupakan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
Dede mengatakan sekitar 58% tanah atau lahan di Indonesia hanya dikuasai oleh 1% penduduk di Indonesia. Dari 58% tanah tersebut, dia memperkirakan sebagian besar dibiarkan telantar dan hanya menjadi kolateral di bank.
Menurutnya, keberadaan tanah telantar tersebut hanya mendatangkan keuntungan bagi pemegang HGU, tetapi tidak membawa manfaat ekonomi apapun kepada masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengatur agar atas tanah-tanah telantar tersebut dikenakan pajak lebih tinggi.
Dia menilai kebijakan pajak progresif akan mendorong pemilik HGU segera melakukan kegiatan produksi pada lahannya. Sementara dalam pelaksanaannya nanti, pemerintah juga dapat menggandeng Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk memetakan tanah yang hanya menjadi kolateral di bank.
"Kenakan pajak lebih tinggi dan pajak itu bisa dimanfaatkan buat negara," ujarnya.
Dede menambahkan pengenaan tarif progresif PBB P5L akan menambah potensi penerimaan negara dari sektor pertanahan. Terlebih, dengan setoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pertahanan yang hanya sekitar Rp3,2 triliun per tahun.
Usulan Dede tersebut mendapat respons positif dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid. Menurutnya, memang banyak tanah HGU yang sudah dijaminkan menjadi hak tanggungan, tetapi kemudian tidak berproduksi.
"Saya pribadi setuju. Kalau memang ini akan menjadi cita-cita kita, kita setujuin, kita golkan dalam bentuk revisi undang-undang perpajakan. Karena memang fakta banyak orang punya HGU, tidak dikerjakan, dijadikan hak tanggungan, dia dapat uang," katanya. (dik)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.