Pemerintah Diminta Antisipasi Penurunan Tax Buoyancy

Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Dekan Asian Development Bank Institute Bambang Brodjonegoro menyarankan pemerintah mengantisipasi penurunan tax buoyancy.
Bambang mengatakan tax buoyancy Indonesia semula tergolong konsisten di atas 1 yang mencerminkan kinerja penerimaan pajak tumbuh secara kuat. Namun, data tax buoyancy dalam beberapa tahun terakhir justru menurun hingga hanya sebesar 0,71 pada 2024.
"Artinya penerimaan pajaknya tumbuhnya lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi," katanya, dikutip pada Rabu (23/4/2025).
Bambang mengatakan tax buoyancy menjadi indikator seberapa responsif penerimaan pajak terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Tax buoyancy berada di atas 1 berarti sistem pajak mampu berjalan secara efektif dan penerimaannya bisa lebih tinggi dari pertumbuhan PDB.
Sebaliknya, tax buoyancy yang di bawah 1 menandakan kinerja penerimaan pajak mengalami kelesuan karena pertumbuhannya lebih rendah ketimbang pertumbuhan PDB.
Tax buoyancy tercatat sebesar 1,94 pada 2021 dan turun tipis menjadi 1,92 pada 2022. Namun, angka tax buoyancy kemudian merosot menjadi 1,17 pada 2023 dan 0,71 pada 2024.
Menurutnya, penurunan tax buoyancy antara lain disebabkan oleh banyaknya kegiatan ekonomi yang tidak terekam dalam sistem pajak. Akibatnya, negara tidak dapat mengumpulkan pajak dari kegiatan ekonomi tersebut.
Dalam mengatasi kondisi ini, Bambang antara lain menyarankan pemerintah menurunkan threshold pengusaha kena pajak (PKP) yang saat ini senilai Rp4,8 miliar. Angka ini 4 kali lipat lebih besar dari rata-rata global yang hanya sekitar Rp1,1 miliar.
Padahal, threshold PKP yang tinggi membawa konsekuensi banyaknya transaksi ekonomi yang tidak terpantau dalam mekanisme PPN. Apabila threshold PKP diturunkan, dia berharap lebih banyak kegiatan ekonomi dapat masuk dalam sistem pajak.
"Ini yang tentunya akan menjadi salah satu upaya kita untuk memperbaiki basis pajak. Karena basis pajak bukan hanya pada jumlah pembayar pajak, tetapi pada transaksi yang terkena pajak," ujarnya. (dik)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.