Sengketa Akibat Pengajuan Banding atas SPTNP

Ilustrasi.
RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa akibat wajib pajak yang mengajukan banding atas surat penetapan tarif dan/atau nilai pabean (SPTNP) sehingga pengajuan banding tidak dapat diterima.
Dalam perkara ini, wajib pajak merupakan perusahaan export-manufacturers yang melakukan kegiatan importasi 100% cotton dan turunannya dari China untuk kemudian diolah serta diekspor ke negara di Eropa dan Amerika Serikat.
Dalam hal ini, otoritas bea dan cukai menerbitkan SPTNP karena wajib pajak tidak tepat dalam menentukan klasifikasi pos tarif atas impor. Oleh karena itu, wajib pajak mengajukan keberatan kepada otoritas bea dan cukai atas SPTNP yang diterbitkan. Adapun karena keberatan tersebut ditolak, wajib pajak mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak atas SPTNP tersebut.
Menurut otoritas bea dan cukai, SPTNP tidak dapat diajukan banding kepada Pengadilan Pajak. Adapun objek yang seharusnya diajukan banding adalah keputusan atas keberatan yang telah diterbitkan oleh otoritas bea dan cukai. Oleh karena itu, otoritas bea dan cukai berpendapat bahwa banding yang diajukan oleh wajib pajak sudah semestinya tidak dapat diterima.
Sementara itu, wajib pajak tidak sepakat dengan pendapat otoritas bea dan cukai. Menurut wajib pajak, pengajuan banding atas SPTNP telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebab, SPTNP pada hakikatnya juga merupakan objek yang dapat diajukan banding berdasarkan penjelasan dari Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak).
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak tidak dapat diterima. Selanjutnya, pada tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.
Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap SPTNP yang diterbitkan oleh otoritas bea dan cukai. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa apabila wajib pajak keberatan atas diterbitkannya SPTNP maka seharusnya wajib pajak mengajukan keberatan kepada otoritas bea dan cukai. Sebab, SPTNP bukan merupakan produk hukum berupa keputusan maupun penetapan dari otoritas bea dan cukai yang dapat diajukan banding.
Oleh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk tidak dapat menerima permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-38231/PP/M.VII/19/2012 tanggal 21 Mei 2012, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 24 Juli 2012.
Pokok sengketa dalam perkara ini terkait putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang menyatakan tidak dapat menerima permohonan banding dari wajib pajak karena produk hukum yang diajukan banding dianggap keliru.
Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK tidak setuju dengan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang menyatakan tidak dapat menerima permohonan banding yang diajukannya.
Sebelum membahas mengenai pendapat para pihak di tingkat PK, perlu dipahami terlebih dahulu kronologi situasi sehingga sengketa tingkat PK ini terjadi. Sebagai informasi, Pemohon PK (sebelumnya pemohon banding) merupakan perusahaan export-manufacturers yang melakukan importasi bahan baku dengan menggunakan HS.5209.19.000.
Dalam hal ini, Pemohon PK memperoleh persetujuan terkait fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) sehingga bea masuk atas impornya dibebaskan. Namun, Termohon PK (sebelumnya termohon banding) menilai bahwa seharusnya wajib pajak menggunakan HS.5208.19.000 dan tetap terutang bea masuk.
Sebab, terdapat pemberlakuan tarif antidumping atas produk 100% cotton dan turunannya. Oleh karena itu, otoritas bea dan cukai menerbitkan SPTNP. Pemohon PK menjelaskan bahwa setelah SPTNP diterbitkan, pihaknya telah mengajukan keberatan kepada otoritas bea dan cukai (dalam hal ini Termohon PK).
Menurut Pemohon PK, surat keberatan tersebut telah direspons oleh pihak Termohon PK dengan diterbitkannya keputusan otoritas bea dan cukai. Adapun isi keputusan tersebut menolak keberatan yang diajukan Pemohon PK. Oleh karena itu, Pemohon PK mengajukan banding atas SPTNP yang diterbitkan.
Sengketa di tingkat PK muncul karena Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa SPTNP bukan merupakan keputusan ataupun penetapan dari otoritas bea dan cukai yang dapat diajukan banding ke Pengadilan Pajak.
Di tingkat PK, Pemohon PK berpendapat bahwa pengajuan banding atas SPTNP tersebut seharusnya tidak menjadi isu sesuai peraturan perundang-undangan. Berkenaan dengan hal tersebut, Pemohon PK mengutip penjelasan dari Pasal 31 ayat (2) UU Pengadilan Pajak.
Pada intinya penjelasan tersebut menyatakan bahwa sengketa pajak yang menjadi objek pemeriksaan Pengadilan Pajak adalah sengketa yang dikemukakan pemohon banding dalam permohonan keberatan yang seharusnya diperhitungkan dan diputuskan dalam keputusan keberatan.
Lebih lanjut, penjelasan dari Pasal 31 ayat (2) UU Pengadilan Pajak juga menyatakan bahwa Pengadilan Pajak dapat memeriksa dan memutus permohonan banding atas keputusan/ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sepanjang peraturan perundang-undangan yang terkait mengatur demikian.
Berdasarkan interpretasi Pemohon PK, penjelasan dari Pasal 31 ayat (2) UU Pengadilan Pajak menunjukkan bahwa SPTNP merupakan objek yang tepat untuk diajukan banding ke Pengadilan Pajak. Sebab, SPTNP pada esensinya merupakan objek yang juga diperiksa dalam permohonan keberatan. Dengan demikian, Pemohon PK menilai putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dipertahankan.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak sepakat dengan dalil yang dinyatakan Pemohon PK. Sebab, Termohon PK pada dasarnya telah menerbitkan keputusan atas keberatan yang diajukan Pemohon PK. Menurut Termohon PK, keputusan tersebutlah yang seharusnya diajukan banding ke Pengadilan Pajak. Dengan demikian, putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan permohonan banding tidak dapat diterima adalah sudah benar.
Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Dalam hal ini, Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan tidak dapat menerima permohonan banding sudah tepat dan benar.
Menurut Mahkamah Agung, berdasarkan Pasal 31 ayat (2) UU Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, SPTNP bukan merupakan keputusan atau penetapan otoritas bea dan cukai atas suatu keberatan. Dengan demikian, SPTNP tidak dapat diajukan banding ke Pengadilan Pajak.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.