Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Fokus
Reportase

Sengketa Tarif Efektif PPh Final Pasal 15

A+
A-
2
A+
A-
2
Sengketa Tarif Efektif PPh Final Pasal 15

Ilustrasi.

Resume Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa tarif efektif pajak penghasilan (PPh) Pasal 15 terhadap wajib pajak berstatus sebagai kantor perwakilan dagang asing (KPDA) di Indonesia.

Sebagai informasi, wajib pajak menjalankan kegiatan usaha sebagai KPDA sekaligus bertindak sebagai kontraktor dari X Co, sebuah entitas asal Jepang, di wilayah Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri telah menjalin perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan pemerintah Jepang.

Sehubungan dengan hal tersebut, PPh atas penghasilan KPDA asal Jepang di Indonesia harus memperhitungkan ketentuan tarif PPh sebagaimana diatur dalam P3B Indonesia–Jepang.

Baca Juga: Model Ideal dalam Memilih Pimpinan Pengadilan Pajak Pasca-Putusan MK

Dalam perkara ini, otoritas pajak melakukan koreksi atas penghitungan PPh berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU PPh. Otoritas pajak juga menggunakan norma penghitungan khusus sebagaimana diatur dalam KEP Menkeu No. 634/KMK.04/1994 untuk menentukan besarnya penghasilan neto dari wajib pajak selaku KPDA.

Dalam prosesnya, otoritas pajak menemukan bahwa tarif efektif yang ditetapkannya lebih tinggi dibandingkan dengan penghitungan yang disampaikan oleh wajib pajak.

Sebaliknya, wajib pajak tidak setuju dengan penghitungan tarif efektif otoritas pajak yang mengakibatkan koreksi positif. Wajib pajak berdalih bahwa terdapat perubahan pada salah satu unsur formula di dalam menentukan tarif efektif, yang menurut mereka belum sepenuhnya dipertimbangkan oleh otoritas pajak dalam menetapkan hasil koreksi tersebut. Adapun penetapan besaran tarif efektif untuk menghitung PPh atas KPDA sudah tepat.

Baca Juga: Begini Langkah MA Belanda Menjaga Konsistensi Hukum

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan.id.

Kronologi

Wajib pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa koreksi atas PPh Pasal 15 tidak dapat dibenarkan karena penghitungan yang dilakukan oleh otoritas pajak tidak mempertimbangkan perubahan tarif PPh badan yang diatur pada ketentuan terbaru.

Baca Juga: Putus Sengketa Pajak Tepat Waktu dan Independen, Ini Langkah Hoge Raad

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkan Putusan Pengadilan Pajak PUT.45353/PP/M.II/27/2013 tanggal 30 Mei 2013, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 06 September 2013.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi PPh Pasal 15 final terutang sebesar Rp91.459.415 karena sengketa tarif.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

Pemohon PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sebagai informasi, Termohon PK merupakan kantor perwakilan dagang di Indonesia dari X Co yang berdomisili di Jepang.

Baca Juga: Masih Disusun, PMK Baru Kuasa Hukum Pajak Tak Bakal Berlaku Seketika

Adapun pokok permasalahan dalam sengketa ini ialah terdapat isu yuridis fiskal mengenai pemenuhan ketentuan perpajakan mengenai tarif norma penghitungan khusus penghasilan netto bagi wajib pajak luar negeri yang mempunyai KPDA di Indonesia.

Menurut Pemohon PK, penentuan PPh KPDA perlu merujuk norma penghitungan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU PPh No. 7/1983 s.t.d.d UU PPh No. 10/1994. Adapun ketentuan mengenai norma penghitungan khusus dalam Pasal 15 diatur lebih lanjut dalam KEP-634/KMK.04/1994, KEP-667/PJ/2001, dan SE-2/PJ.03/2008.

Merujuk pada SE-2/PJ.03/2008, formula tarif efektif mencakup penjumlahan dari dua komponen utama. Komponen pertama ialah PPh atas penghasilan kena pajak terutang yang dihitung dengan tarif Pasal 17 UU PPh dikalikan 1%. Komponen kedua ialah nilai tarif branch profit tax sesuai P3B dikalikan sisa penghasilan neto setelah dikurangi PPh Badan, yaitu 1% - PPh Badan.

Baca Juga: Susun RPMK Baru, Kemenkeu Bakal Perketat Syarat Kuasa Hukum Pajak

Berdasarkan formula tersebut, Pemohon PK menggunakan tarif Pasal 17 sebesar 30% dengan alasan bahwa tarif tersebut merupakan tarif tertinggi yang berlaku untuk PPh Badan saat itu.

Sebagai hasilnya, dalam penghitungan yang dilakukan oleh Pemohon PK, diperoleh tarif efektif sebesar 0,37%. Adapun besaran tarif efektif tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan yang disampaikan Termohon PK.

Pemohon PK menilai bahwa penghitungan ini dilakukan dengan benar. Sebab, Pemohon PK telah mengikuti contoh penghitungan besarnya tarif pajak terutang pada angka 3 huruf a contoh 1 SE-2/PJ.03/2008. Peraturan tersebut turut mempertimbangkan tarif PPh badan progresif tertinggi dari UU PPh No. 7/1983 s.t.d.d UU PPh No. 10/1994.

Baca Juga: DJP Sebut Belum Ada WP yang Ajukan Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25

Adapun penggunaan tarif tunggal sebesar 28% yang dilakukan oleh Termohon PK dianggap kurang tepat oleh Pemohon PK. Sebab, peraturan pelaksanaan dari Pasal 15 UU PPh terdiri dari KEP-634/KMK.04/1994 dan SE-2/PJ.03/2008 masih berlaku.

Dengan demikian formula norma penghitungan khusus KPDA di Indonesia masih menerapkan tarif PPh badan tertinggi sebesar 30%.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan penghitungan tarif Pemohon PK yang mengakibatkan koreksi positif. Termohon PK menyatakan bahwa penggunaan tarif sebesar 28% dalam menerapkan norma penghitungan khusus bagi KPDA telah sesuai dan ditafsirkan secara benar sebagaimana tercantum dalam SE-2/PJ.03/2008.

Baca Juga: Perpindahan Pengadilan Pajak Perlu Transformasi Penyelesaian Sengketa

Menurut Pemohon PK, penggunaan tarif 28% sebagai landasan penghitungan didasarkan pada adanya perubahan tarif PPh badan progresif menjadi tarif tunggal di tahun 2009 pada UU 36/2008 tentang PPh. Ketentuan ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 2009, yang artinya tarif 28% telah diterapkan pada masa pajak yang menjadi sengketa.

Berdasarkan uraian diatas, koreksi PPh Pasal 15 final terutang sebesar Rp91.459.415 tidak dapat dibenarkan. Oleh karenanya, Termohon PK menyimpulkan bahwa koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Dalam hal ini, Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil sudah tepat dan benar.

Baca Juga: Jentera: Pemindahan Pengadilan Pajak ke MA Jadi Perubahan Fundamental

Adapun pertimbangan Mahkamah Agung terhadap perkara ini, yaitu koreksi PPh Pasal 15 final terutang sebesar Rp91.459.415 tidak dapat dibenarkan. Sebab, norma penghitungan khusus untuk menentukan besaran penghasilan neto telah sesuai dengan formula yang telah ditetapkan.

Selain itu, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan oleh para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan ditolaknya permohonan PK, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (Ighfar Ulayya Sofyan/sap)

Baca Juga: Menaksir Bentuk Ideal Peradilan Pajak, Melihat Praktik di Negara Lain

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : resume putusan, pengadilan pajak, sengketa pajak, PPh Pasal 15

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 20 Mei 2025 | 13:00 WIB
KOLABORASI LeIP-DDTC

Seperti Apa Kedudukan dan Kekhususan Pengadilan Pajak di Indonesia?

Senin, 19 Mei 2025 | 15:30 WIB
KOLABORASI LeIP-DDTC

Tiga Putusan MK yang Mengubah Fundamental Pengadilan Pajak, Apa Saja?

Senin, 19 Mei 2025 | 12:33 WIB
KOLABORASI LeIP-DDTC

Seperti Apa Administrasi Sengketa dan Peradilan Pajak di Negara Lain? 

Kamis, 08 Mei 2025 | 09:18 WIB
LITERATUR PAJAK

Lima Syarat Ajukan Banding ke Pengadilan Pajak, Ketahui di Sini

berita pilihan

Senin, 23 Juni 2025 | 20:30 WIB
KAMUS PAJAK

Apa Itu Penelitian SPT?

Senin, 23 Juni 2025 | 19:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Setor Sendiri PPh Dividen Orang Pribadi Tidak Pakai Skema Kode Billing

Senin, 23 Juni 2025 | 18:30 WIB
PER-11/PJ/2025

Bupot PPh 21 Harus Dilengkapi NITKU Tempat Pembayaran Penghasilan

Senin, 23 Juni 2025 | 18:00 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

Ada Fasilitas Pajak untuk Dukung Ketahanan Pangan? Ini Kata Kemenperin

Senin, 23 Juni 2025 | 17:05 WIB
MINYAK MENTAH INDONESIA

Suplai Minyak Mentah Naik, ICP Mei 2025 Turun Jadi US$62,75 Per Barel

Senin, 23 Juni 2025 | 17:00 WIB
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Bayar PNBP Lebih Mudah dengan Single Billing, Begini Pelaksanaannya

Senin, 23 Juni 2025 | 16:30 WIB
ADMINISTRASI PERPAJAKAN

DJP Wanti-Wanti: Jangan Tergiur Beli Meterai Murah di Bawah Rp10.000

Senin, 23 Juni 2025 | 16:00 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

Threshold PKP Tinggi Jadi Penyebab PPN Indonesia Tak Efisien