Surat Setoran Pajak Tak Lagi Jadi Bukti Pemungutan PPh Pasal 22

Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Instansi pemerintah dan pemungut PPh Pasal 22 kini wajib membuat bukti pemungutan PPh Pasal 22 dan memberikannya kepada wajib pajak yang dipungut.
Kewajiban pembuatan bukti pemungutan PPh Pasal 22 itu tercantum dalam Pasal 223 PMK 81/2024. Ketentuan ini berbeda dengan peraturan terdahulu yang menjadikan surat setoran pajak (SSP) sebagai bukti pemungutan pajak.
“Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf h, wajib memungut dan membuat bukti pemungutan PPh Pasal 22,” bunyi Pasal 223 ayat (1) PMK 81/2024, dikutip pada Rabu (16/4/2025).
Sebelumnya, ketentuan mengenai pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain diatur dalam PMK 34/2017.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) PMK 34/2017, sebelumnya SSP berlaku juga sebagai bukti pemungutan PPh Pasal 22. Alhasil, berlakunya PMK 81/2024 yang menggantikan PMK 34/2017 membuat SSP tidak lagi diperlakukan sebagai bukti pemungutan PPh Pasal 22.
Meski demikian, bukti pemungutan Pasal 22 atas ekspor dan impor masih menggunakan Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam Rangka Impor (SSCP) dan/atau bukti penerimaan negara (BPN).
“SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP atas penyetoran PPh Pasal 22 oleh importir, eksportir komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dan DJBC...berlaku sebagai bukti pemungutan pajak dalam hal telah mendapatkan validasi pembayaran pajak,” bunyi Pasal 222 ayat (1) PMK 81/2024.
Dalam hal PPh 22 impor disetor secara digunggung maka pemilik barang dapat menggunakan Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, dan/atau Pajak (SPPBMCP), bukti pembayaran, atau dokumen DJBC lainnya sebagai bukti pemungutan PPh Pasal 22, sepanjang PPh telah disetorkan ke kas negara.
Namun, SSPCP digunggung tidak berlaku sebagai bukti pemungutan PPh Pasal 22. PMK 81/2024 juga mengubah ketentuan batas waktu penyetoran PPh Pasal 22. Umumnya, PPh Pasal 22 kini harus disetorkan maksimal tanggal 15 bulan berikutnya.
Untuk PPh Pasal 22 atas impor yang disetor sendiri, jatuh temponya bersamaan dengan pembayaran bea masuk. Jika bea masuk ditunda atau dibebaskan maka PPh Pasal 22 atas impor wajib dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.
Sementara itu, untuk PPh Pasal 22 atas impor yang dipungut oleh DJBC wajib disetor dalam jangka waktu 1 hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak. Lalu, PPh Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam terutang dan disetorkan bersamaan dengan saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas ekspor.
Selain itu, instansi pemerintah dan pemungut PPh Pasal 22 wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut melalui SPT Masa PPh Unifikasi. Kewajiban ini juga berlaku bagi instansi pemerintah. Namun, DJBC tidak wajib menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi.
“Pemungut pajak...wajib melaporkan PPh Pasal 22 kepada Dirjen Pajak paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan SPT Masa PPh Unifikasi,” bunyi Pasal 223 ayat (4) PMK 8/2024.
Untuk mempermudah, berikut ringkasan ketentuan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22 berdasarkan PMK 81/2024.
(rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.