Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Literasi
Senin, 03 Maret 2025 | 15:30 WIB
KAMUS KEPABEANAN
Senin, 03 Maret 2025 | 08:00 WIB
FOUNDER DDTC DARUSSALAM:
Jum'at, 28 Februari 2025 | 17:03 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
Jum'at, 28 Februari 2025 | 17:00 WIB
KAMUS KEPABEANAN
Fokus
Reportase

Saran OECD: Kenakan Pajak Karbon dan Kurangi Subsidi Energi

A+
A-
7
A+
A-
7
Saran OECD: Kenakan Pajak Karbon dan Kurangi Subsidi Energi

Ilustrasi. 

PARIS, DDTCNews – Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menilai negara berkembang dapat meningkatkan penerimaan pajak melalui pengenaan pajak atas pemanfaatan bahan bakar fosil dan pemangkasan subsidi energi.

Dalam laporan berjudul Taxing Energy Use for Sustainable Development, OECD mengungkapkan pengenaan pajak atas penggunaan bahan bakar fosil seperti pajak karbon (carbon tax) tidak hanya meningkatkan penerimaan, tetapi juga mampu memangkas output emisi dan polusi.

"Dari 15 negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang dikaji, ditemukan skema pengenaan pajak karbon yang baik ternyata mampu memperkuat potensi dan mobilisasi penerimaan domestik," tulis OECD dalam keterangan resminya, dikutip pada Selasa (26/1/2021).

Baca Juga: OECD Tetapkan Daftar Negara dengan Qualified IIR dan QDMTT

Secara rata-rata, OECD mencatat penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh negara yang menerapkan pajak karbon bisa mencapai 1% dari PDB. Estimasi penerimaan itu diperoleh jika setiap yurisdiksi mengenakan pajak karbon dengan tarif senilai EUR30 atau Rp514.000 atas setiap ton karbon dioksida.

Pengenaan pajak atas pemanfaatan bahan bakar fosil sekaligus reformasi subsidi energi dinilai sebagai kunci untuk mencapai 3 tujuan besar, yakni dekarbonisasi, mobilisasi penerimaan domestik, dan peningkatan akses terhadap sumber energi yang terjangkau.

Negara berkembang yang saat ini mengalami tekanan penerimaan pajak akibat pandemi Covid-19, menurut OECD, memiliki ruang yang cukup besar untuk memulai pengenaan pajak karbon. Adapun pengenaan itu sepanjang diimbangi dengan stimulus kepada masyarakat kelas bawah.

Meski demikian, OECD mencatat masih terdapat banyak kelemahan dalam penerapan pajak atas pemanfaatan bahan bakar fosil yang diterapkan oleh 15 negara berkembang. OECD mencatat 4 dari 15 negara yang dikaji masih memiliki belanja subsidi energi yang lebih besar bila dibandingkan dengan penerimaan pajak atas penggunaan bahan bakar fosil yang diterima.

Baca Juga: Hendak Jadi Anggota OECD, Initial Memorandum Ditarget Rampung Juni

Menurut OECD, subsidi energi yang diberikan pemerintah hanya menguntungkan konsumen yang kaya. Dengan demikian, diperlukan desain pajak sekaligus subsidi yang lebih tepat sasaran untuk meningkatkan daya jangkau masyarakat terhadap energi. Lebih lanjut, OECD juga mencatat masih terdapat 83% potensi pajak atas bahan bakar fosil yang masih belum dipajaki.

Namun, OECD juga mencatat 5 dari 15 negara yang dikaji sudah sama sekali tidak memanfaatkan batu bara sebagai sumber energi. Perkembangan pemanfaatan sumber energi terbarukan seperti angin dan solar energy juga tercatat makin besar. Hanya Maroko dan Filipina yang masih memanfaatkan batu bara sebagai sumber energi listrik secara ekstensif.

Adapun yurisdiksi yang dikaji oleh OECD pada laporan ini antara lain Pantai Gading, Mesir, Ghana, Maroko, Nigeria, Uganda, Filipina, Sri Lanka, Kosta Rika, Republik Dominika, Ekuador, Guatemala, Jamaika, dan Uruguay. (kaw)

Baca Juga: DPR Dorong Penerapan Pajak Karbon, Biar Ada ‘Efek Jera’

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : OECD, pajak karbon, carbon tax, subsidi energi, negara berkembang

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 20 Januari 2025 | 13:30 WIB
THAILAND

Terapkan Pajak Minimum Global, Thailand Bakal Raup Rp5,7 Triliun

Kamis, 16 Januari 2025 | 11:00 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

5 Informasi Utama yang Perlu Dipaparkan dalam TP Doc menurut OECD

Selasa, 14 Januari 2025 | 18:00 WIB
PRANCIS

Negosiasi Pilar 1 Masih Jalan di Tempat, Ternyata Ini Sebabnya

Senin, 13 Januari 2025 | 12:30 WIB
HONG KONG

Hong Kong Terapkan Pajak Minimum Global 15 Persen Mulai Tahun Ini

berita pilihan

Selasa, 04 Maret 2025 | 19:43 WIB
EXCLUSIVE SEMINAR – DDTC ACADEMY

Optimalkan Insentif Pajak dengan Manajemen yang Tepat

Selasa, 04 Maret 2025 | 18:00 WIB
KPP MADYA TANGERANG

Gagal Daftar NPWP di Coretax, WP Pilih Datang Langsung ke Kantor Pajak

Selasa, 04 Maret 2025 | 17:30 WIB
KEP-67/PJ/2025

Ingat! Tidak Ada Penghapusan Sanksi Telat Upload Faktur Pajak

Selasa, 04 Maret 2025 | 17:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Kode Verifikasi untuk Login DJP Online Tak Masuk-Masuk? Coba Cara Ini

Selasa, 04 Maret 2025 | 15:30 WIB
KABUPATEN BULELENG

Piutang Pajak Menumpuk Rp108 Miliar, Pemkab Didesak Kebut Penagihan

Selasa, 04 Maret 2025 | 15:00 WIB
PMK 17/2025

Simak! Ini Sederet Hak Tersangka dalam Pemeriksaan Penyidikan

Selasa, 04 Maret 2025 | 14:45 WIB
PEREKONOMIAN INDONESIA

Deflasi 0,09 Persen, Kemenkeu Klaim Daya Beli Rakyat Masih Terjaga

Selasa, 04 Maret 2025 | 14:30 WIB
APBN 2025

Dari Uang Pajak! Danantara Bakal Modali Proyek-Proyek Hilirisasi

Selasa, 04 Maret 2025 | 14:00 WIB
KONSULTASI CORETAX

Sudah Bayar PPN dalam PIB, tapi di Coretax PPN-nya Tetap Nol?