Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Literasi
Jum'at, 18 April 2025 | 15:30 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
Kamis, 17 April 2025 | 17:00 WIB
TIPS PAJAK DAERAH
Kamis, 17 April 2025 | 14:00 WIB
KELAS PPh Pasal 21 (12)
Selasa, 15 April 2025 | 18:15 WIB
KETUA MA 1974-1982 OEMAR SENO ADJI:
Fokus
Reportase

Menyoroti Peranan Civil Society dalam Mengawal UN Tax Convention

A+
A-
2
A+
A-
2
Menyoroti Peranan Civil Society dalam Mengawal UN Tax Convention

Managing Partner DDTC David Hamzah Damian memberikan paparannya dalam Capacity Building of Civil Society Organisations in Asia for an Effective Advocacy on the UN Tax Convention di Bangkok, Thailand, Kamis (13/3/2025).

BANGKOK, DDTCNews - Diskursus mengenai isu pajak internasional berkembang dengan sangat cepat dan dinamis dalam 1 dekade terakhir. Semua pihak, termasuk masyarakat sipil, dinilai perlu ikut memahami dinamika yang terjadi.

Mengapa perlu? Imbas dari berbagai kebijakan pajak internasional juga akan merambat ke Tanah Air. Pada akhirnya, wajib pajak di Tanah Air sedikit banyak ikut merasakan dampaknya.

Guna membahas urgensi pemahaman isu pajak internasional terhadap masyarakat sipil, beberapa organisasi masyarakat sipil (civil society organization/CSO) menggelar capacity building dengan menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten di bidang pajak. Kegiatan ini berlangsung di Bangkok, Thailand, pada 13-14 Maret 2025.

Baca Juga: Ada Insentif Pajak untuk Perusahaan yang Pakai Bus dan Truk Listrik

Salah satu pakar yang turut hadir adalah Managing Partner of DDTC Consulting David Hamzah Damian. Di hadapan peserta capacity building, David membagikan pemikiran dan ilmunya mengenai dinamika isu pajak internasional yang kini terjadi.

Seperti diketahui, isu mengenai penghindaran pajak oleh perusahaan-perusahaan multinasional merupakan pembahasan lawas yang belum usai hingga saat ini. Laporan Tax Justice Network pada 2024 menyebutkan negara-negara kehilangan US$492 miliar setiap tahunnya akibat penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional dan individu kaya.

Dalam pengantarnya, David menjelaskan bahwa kedaulatan pajak bagi suatu negara untuk mengatur sistem perpajakannya secara mandiri bisa berujung pada persaingan pajak. Konsekuensinya, bermunculan negara tax haven, perang tarif, dan hak mengenakan pajak yang berorientasi pada domestic resource mobilization.

Baca Juga: Pungutan Windfall Tax Diperpanjang 3 Tahun, Perbankan Kompak Protes

"Persaingan pajak selama ini dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional melalui perencanaan, penghindaran, atau bahkan penggelapan pajak yang berakibat tergerusnya basis pajak dan terjadinya pengalihan laba," kata David.

Sebagai respons atas situasi tersebut, OECD menginisiasi sebuah kesepakatan pajak global berjuluk G-20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Langkah ini juga menghasilkan Solusi 2 Pilar (Two Pillar Solution).

Hanya saja, efektivitas G-20 Inclusive Framework on BEPS untuk memberikan manfaat optimal bagi negara-negara berpenghasilan rendah melalui Solusi Pilar 2 masih dipertanyakan.

Baca Juga: Ada Sebagian Barang dari China Kena Bea Masuk 245% oleh AS, Kok Bisa?

Dalam perjalanan menghasilkan kebijakan tersebut, banyak pihak yang mengkritisi proses penyusunan Solusi 2 Pilar yang sejatinya tidak bersifat inklusif.

"Mulai dari tenggat waktu memberikan respons terhadap suatu draf, atau sistem pengambilan suara yang tidak demokratis," kata David.

Kebijakan yang dihasilkan oleh OECD G-20 Inclusive Framework on BEPS, khususnya Pilar 1 dan 2, dinilai oleh akademisi dan pemerhati pajak internasional sebagai kebijakan yang terlalu pro negara ekonomi maju. Susunan kebijakan tersebut juga dianggap kurang mengakomodasi kepentingan negara ekonomi rendah.

Baca Juga: Turis Asing di China Bisa Langsung Minta VAT Refund di Toko

Kritik lain terhadap Solusi 2 Pilar adalah mekanisme kerjanya yang begitu kompleks. Hal ini dikhawatirkan tidak sebanding dengan manfaat yang diterima oleh negara ekonomi rendah.

"Manfaat yang diterima suatu negara dari penerapan Pilar 1 dan 2 pun tidak pernah jelas disebutkan OECD. Akibatnya, negara yang menerapkan tidak bisa mempertimbangkan potensi secara akurat terhadap penerimaan negara," kata David.

Menyusul banyaknya tidak kepuasan terhadap proses dan implementasi G-20 Inclusive Framework on BEPS, sekelompok negara berinisiatif untuk menyusun wadah baru yang lebih aplikatif bagi ekonomi mereka.

Baca Juga: Trump Ancam Status Bebas Pajak Universitas Harvard Dicabut, Ada Apa?

Akhirnya, komite ad hoc yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi menyetujui terms of reference (ToR) mengenai pembentukan Konvensi Pajak PBB atau United Nations (UN) Tax Convention. Kehadiran UN Tax Convention akan menciptakan kerja sama perpajakan global yang inklusif dan mampu mendukung upaya domestic resource mobilization (DRM).

UN Tax Convention bertujuan untuk memastikan grup perusahaan multinasional membayar pajaknya secara adil di manapun grup perusahaan multinasional tersebut beroperasi.

Kerja sama pajak dari UN Tax Convention ditargetkan mampu memberikan tambahan penerimaan bagi semua negara, utamanya negara berkembang. Dana yang terkumpul akan digunakan oleh negara-negara untuk memenuhi kebutuhan pembangunannya masing-masing.

Baca Juga: Bertahap! Negara Maju Ini Bakal Turunkan Tarif PPh Badan Mulai 2028

"Capacity building ini bertujuan meningkatkan kapasitas CSO dalam mengamati isu-isu penting seputar pajak internasional, khususnya tentang UN Tax Convention," ujar David dalam paparannya.

Lantas apa kaitannya dengan CSO? David menjelaskan bahwa dalam perencanaan UN Tax Convention, peranan CSO menjadi sangat penting untuk memberikan saran serta mengawal melalui perwakilan di PBB. Melalui PBB, suara negara-negara ekonomi rendah akan didengar secara musyawarah, bukan sekadar pemungutan suara.

"CSO dapat mengadvokasi pentingnya suatu analisis terhadap proposal UN Framework Convention atau dampaknya terhadap perpajakan di negaranya," kata David.

Baca Juga: Industri Belum Siap, Trump Tunda Bea Masuk 25 Persen atas Impor Mobil

Sebagai informasi, capacity building ini digelar oleh sejumlah CSO, antara lain LDC Watch, South Asia Alliance for Poverty Eradication (SAAPE), The PRAKARSA, dan Oxfam in Asia.


Narasumber dalam capacity building, dari kiri ke kanan: Executive Director of The PRAKARSA Ah Maftuchan, SAAPE Core Committee Member Nalini Rathnarajah, National Confederation of Dalit and Adivasi Organisations (NACDAOR) Ashok Kumar Bharti, Managing Partner of DDTC Consulting David Hamzah Damian, NACDAOR Sumedha Bodh, dan Global Coordinator of LDC Watch Arjun Kumar Karki.

Baca Juga: Soal Bea Masuk Resiprokal, China Desak AS untuk Bertindak Rasional

Sejumlah CSO tersebut selama ini juga telah secara aktif menyuarakan isu mengenai penyalahgunaan pajak dan aliran keuangan gelap di level PBB. Organisasi masyarakat sipil tersebut juga telah menyampaikan tanggapan kepada Komite Ad Hoc mengenai kerangka acuan UN Tax Convention. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : reportase, pajak internasional, UN Tax Convention, civil society organization, masyarakat sipil, OECD, Pilar 2, Pilar 1

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Minggu, 06 April 2025 | 08:00 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN

Sikapi Bea Masuk Resiprokal AS, Asean Perlu Merespons secara Kolektif

Sabtu, 05 April 2025 | 14:30 WIB
KEBIJAKAN PERDAGANGAN

Kena Bea Masuk Resiprokal 32 Persen, RI Belum Tetapkan Langkah Khusus

berita pilihan

Sabtu, 19 April 2025 | 16:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Ingat Lagi Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan sebelum Pengukuhan PKP

Sabtu, 19 April 2025 | 14:00 WIB
PROVINSI SULAWESI TENGAH

Ada Pemutihan! Kendaraan Mati 10 Tahun, Cukup Bayar 1 Tahun Saja

Sabtu, 19 April 2025 | 11:35 WIB
KOLABORASI LeIP-DDTC

Gratis 25 Buku Terbaru DDTC untuk PERTAPSI! Beri Komentar Terbaik Anda

Sabtu, 19 April 2025 | 11:30 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Siapa yang Masuk Keluarga Sedarah dan Semenda dalam Aturan Pajak?

Sabtu, 19 April 2025 | 10:30 WIB
PMK 81/2024

Ketentuan PPh atas Pengalihan Partisipasi Interes, Apa yang Berubah?

Sabtu, 19 April 2025 | 10:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

WP Badan Masih Bisa Perpanjang Waktu Lapor SPT Tahunan, Tambah 2 Bulan

Sabtu, 19 April 2025 | 09:30 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

DPR Khawatir Efek Lemahnya Daya Beli Merembet ke Kinerja Cukai Rokok

Sabtu, 19 April 2025 | 09:05 WIB
LAPORAN FOKUS

Meluruskan Fungsi Pengadilan Pajak sebagai Lembaga Yudisial