Ada Insentif Pajak, Menaker Harap Industri Padat Karya Tak PHK Pekerja

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli (kanan). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Spt.
JAKARTA, DDTCNews - Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyatakan pemerintah telah memberikan berbagai insentif untuk menjaga keberlangsungan industri padat karya.
Yassierli mengatakan keberadaan industri padat karya sangat penting untuk menyerap banyak tenaga kerja. Melalui insentif yang diberikan, dia berharap industri padat karya mampu terus bertahan dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawannya.
"Ini sebuah upaya kita untuk melindungi industri padat karya," katanya dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR dikutip pada Selasa (6/5/2025).
Yassierli mengatakan kebijakan untuk melindungi industri padat karya telah dirumuskan sejak awal 2025. Di bawah koordinasi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dirumuskan paket kebijakan berisi 4 insentif untuk industri padat karya.
Pertama, fasilitas tax allowance untuk industri padat karya berdasarkan PMK 16/2020. Beleid ini menyatakan wajib pajak yang melakukan penanaman modal pada industri padat karya tertentu dapat memperoleh fasilitas PPh.
Fasilitas PPh yang diberikan berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 60% dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud, termasuk tanah. Pengurangan penghasilan neto itu dibebankan selama 6 tahun sejak saat mulai berproduksi komersial atau 10% per tahun.
Seluruh aktiva tetap yang dihitung dalam pengurangan tersebut harus digunakan untuk kegiatan usaha utama. Kegiatan usaha utama berarti bidang usaha dan jenis produksi yang tercantum dalam surat izin usaha.
Terdapat 3 syarat utama yang harus dipenuhi industri padat karya agar bisa memanfaatkan fasilitas tersebut, yakni merupakan wajib pajak badan dalam negeri; melakukan kegiatan usaha utama yang tercakup dalam 45 bidang industri padat karya yang ditetapkan dalam lampiran PMK 16/2020; serta mempekerjakan tenaga kerja Indonesia paling sedikit 300 orang dalam satu tahun pajak.
Kedua, pembiayaan kredit investasi berupa subsidi kredit untuk revitalisasi mesin industri bagi industri padat karya. Anggaran yang disiapkan untuk dukungan pembiayaan ini senilai total Rp20 triliun.
Dukungan pembiayaan kredit ini diberikan untuk plafon pinjaman di atas Rp500 juta hingga Rp10 miliar, serta memiliki suku bunga/margin yang lebih rendah ketimbang kredit komersial. Jangka waktu pinjaman juga fleksibel antara 5 hingga 8 tahun.
Ketiga, pemberian insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) untuk pekerja di sektor padat karya berdasarkan PMK 10/2025. Melalui beleid ini, pemerintah mengatur pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP untuk masa pajak Januari hingga Desember 2025.
Insentif ini diberikan kepada pegawai yang bekerja pada sektor usaha industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit dan barang dari kulit. Insentif ini hanya diberikan kepada pegawai yang memperoleh penghasilan bruto tidak lebih dari Rp10 juta per bulan atau Rp500.000 per hari.
Keempat, bantuan iuran jaminan kecelakaan kerja di BPJS Ketenagakerjaan sebesar 50%. Kebijakan ini telah diatur dalam PP 7/2025 tentang Penyesuaian Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja bagi Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Tahun 2025.
"Walaupun tentu kita melihat ini harus terus kita review dan harus terus kita sempurnakan," ujar Yassierli.
Dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR, dia juga sempat memaparkan data pekerja yang terkena PHK pada 2024 mencapai 77.965 orang. Adapun sepanjang Januari hingga 23 April 2025, PHK dialami oleh 24.083 pekerja.
PHK ini kebanyakan terjadi di Jawa Tengah, Jakarta, dan Riau. Sementara itu, sektor usaha yang terbanyak melakukan PHK adalah industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta aktivitas jasa lainnya.
Kemenaker mencatat ada sedikitnya 25 penyebab perusahaan melakukan PHK, di antaranya perusahaan mengalami kerugian atau bahkan harus tutup karena penurunan permintaan di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, PHK juga bisa karena memindahkan operasional ke wilayah dengan upah tenaga kerja yang lebih rendah demi efisiensi biaya, serta akibat kasus perselisihan hubungan industrial. (dik)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.