Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Komunitas
Selasa, 13 Mei 2025 | 16:09 WIB
DDTC EXECUTIVE INTERNSHIP PROGRAM
Selasa, 13 Mei 2025 | 13:35 WIB
DDTC ACADEMY - ADIT EXAM PREPARATION COURSE
Rabu, 07 Mei 2025 | 07:48 WIB
DDTC ACADEMY - EXCLUSIVE SEMINAR
Selasa, 06 Mei 2025 | 13:05 WIB
DDTC EXECUTIVE INTERNSHIP PROGRAM
Fokus
Reportase

Menyikapi Kasus Pajak Google

A+
A-
1
A+
A-
1
Menyikapi Kasus Pajak Google

Ilustrasi. (Foto: Karen Bleier/AFP/Getty Images)

PEKAN lalu (26/10), pejabat tinggi Google Asia Pasific menemui sejumlah pejabat Ditjen Pajak (DJP) untuk menegosiasikan tagihan pajak yang ditaksir senilai Rp5,2 triliun. Setelah pertemuan itu, tak satu pihak pun mau berkomentar. Baik pejabat tinggi Google maupun DJP sama-sama memilih diam.

Agaknya, memang belum ada kesepakatan di antara keduanya. Negosiasi masih akan berlanjut. Tarik ulur masih terjadi. Pemerintah tetap dalam posisi untuk menagih utang pajak Google selama 5 tahun, sementara Google bertahan dengan klaim, bahwa besaran tagihan seharusnya tak sebesar itu.

Dengan melihat pendekatan komunikasi yang digunakan oleh kedua belah pihak dalam beberapa pekan terakhir ini, sulit untuk tidak sampai pada kesimpulan, bahwa secara umum baik DJP maupun Google tidak menginginkan kasus ini berakhir di meja hijau. Mereka ingin penyelesaian damai.

Baca Juga: Cara Unduh NPWP Digital Lewat Coretax DJP

Sejauh ini, DJP toh tidak membuat regulasi baru untuk bisa memajaki Google atau juga secara intensif memainkan isu moralitas dalam upaya menagih utang pajak tersebut, seraya mengobarkan ‘sentimen antikebangsaan’ yang mengancam Google, seperti terlihat di Inggris atau beberapa negara lain.

Sebaliknya, dalam berbagai kesempatan Google tetap berkukuh berkomitmen mematuhi peraturan perpajakan di Indonesia, dan juga beritikad baik menemui pejabat DJP. Dengan kata lain, keduanya tidak berniat berhadapan di pengadilan. Keduanya mengedepankan pendekatan kerja sama, dialog.

Tentu itu bukan sesuatu yang buruk. Tapi kita tahu, dengan regulasi yang belum jelas, ada risiko besar, DJP kalah jika membawa kasus ini ke pengadilan. Sementara komitmen Google ‘mematuhi peraturan perpajakan RI’ itu kurang lebih berarti tak mau membayar pajak dalam jumlah yang ditagih DJP.

Baca Juga: DJP Diminta Laporkan Sanksi yang Dihapus Akibat Kendala Coretax

Harus diakui, tidak mudah meracik solusi untuk masalah ini. DJP butuh banyak dukungan untuk bisa membuat aturan baru yang dapat memajaki Google hingga 5 tahun ke belakang. Di sisi lain, aturan itu juga tidak boleh melanggar tax treaty yang sudah disepakati Indonesia dengan negara lain.

Itulah barangkali sebabnya kenapa Pemerintah Thailand misalnya, memilih ‘mengikhlaskan’ tagihan pajak Google pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi pada saat yang sama bersiap ‘membalas dendam’ dengan merevisi aturan pemungutan pajak bagi perusahaan internet dan teknologi perusahaan.

Situasinya jadi kompleks karena kasus ini bukan milik Google dan DJP saja. Ada prinsip keadilan pajak yang dipertaruhkan: Mereka yang berpendapatan sama harus dikenakan pajak yang setara, mereka yang berpendapatan tinggi harus membayar pajak lebih banyak dari yang berpendapatan rendah.

Baca Juga: WP Diberi Waktu 14 Hari untuk Tanggapi SP2DK, Bisa Lewat Coretax?

Lebih dari 200 tahun silam, Revolusi Prancis telah memberitahu apa risiko yang harus ditanggung apabila negara, atas berbagai pertimbangan politik, enggan menerapkan prinsip keadilan ini. Sudah terlalu banyak contoh dalam sejarah yang menunjukkan apa hasil dari praktik ketidakadilan pajak.

Karena itu, langkah yang dilakukan Pemerintah Inggris untuk menyiasati situasi sulit dalam kasus Google tadi layak dijadikan referensi. Penerbitan diverted profit tax di Inggris yang tak menyalahi tax treaty karena memang bukan pajak penghasilan badan, sudah terbukti efektif memajaki Google.

Pajak tersebut hanya dikenakan jika perusahaan perusahaan penyaluran data melalui internet (Over The Top/ OTT) seperti Google yang enggan mendirikan BUT di dalam negeri diketahui membuat BUT di negara lain yang tarif PPh-nya di bawah 80% dari tarif PPh badan di dalam negeri.

Baca Juga: DJP Ungkap Progres Perbaikan Latensi Coretax, Begini Perinciannya

Aturan inilah, yang diiringi dengan kampanye antipenghindaran pajak, yang berhasil memaksa Google kemudian mendirikan BUT di Inggris, setelah ‘benteng pertahanan’ terakhirnya yakni tax treaty, tidak bisa lagi melindungi Double Irish Dutch Sandwich, taktik perencanaan pajak agresifnya.

Langkah ini bisa dikaji untuk diterapkan di Indonesia. Apalagi, secara payung hukum, Menteri Komunikasi dan Informatika telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 tahun 2016, yang menyebut bahwa perusahaan OTT di Indonesia wajib membangun BUT, sehingga bisa berstatus wajib pajak.

Tapi kalau langkah ini yang diambil, maka tak ada pilihan lain: Sikap mental DJP dalam kasus pajak Google dengan sendirinya harus mengalami sedikit improvisasi. DJP harus lebih menekan, bukan memfasilitasi. Hak-hak Google tentu tak diabaikan, tapi prinsip keadilan pajak lebih dikedepankan.

Baca Juga: Perlukah Batas Penghasilan Tidak Kena Pajak Dinaikkan? Ini Kata Apindo

Untuk membangun tekanan itu, paling tidak ada dua hal yang harus disiapkan, yaitu regulasi baru untuk bisa memajaki Google, dan kampanye antipenghindaran pajak. Jika yang pertama ‘membuat’ Google menjadi perusahaan ilegal, yang kedua ‘membuat’ Google menjadi perusahaan tak bermoral.

Tidak ada perusahaan yang mau dicitrakan sebagai perusahaan ilegal atau perusahaan tidak bermoral. Tapi tentu Google tidak akan tinggal diam. Raksasa sebesar dia niscaya sudah berhitung. Namun, atas nama keadilan, untuk kemaslahatan, DJP tidak boleh takut. DJP harus berani menekan.*

Baca Juga: Bukan 01, Kode Faktur Pajak untuk Transaksi Dalam Negeri Kini Pakai 04

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : kasus pajak google, Ditjen Pajak, BUT, DJP

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 08 Mei 2025 | 08:51 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Pajak Masih Minus, Target Tax Ratio Dikhawatirkan Tak Tercapai Lagi

Kamis, 08 Mei 2025 | 07:53 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

Kejar Target Penerimaan Pajak, Perbaikan Coretax Tak Boleh Molor

Rabu, 07 Mei 2025 | 20:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Apa Saja Tugas dari Seorang AR Pajak? Simak di Sini

Rabu, 07 Mei 2025 | 16:40 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Setelah Terkontraksi 19%, Kinerja Pajak Diyakini Segera Membaik

berita pilihan

Kamis, 15 Mei 2025 | 10:30 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Wamenkeu Sebut Dampak Reformasi ke Ekonomi Terasa di Kuartal II/2025

Kamis, 15 Mei 2025 | 10:00 WIB
TIPS PAJAK

Cara Unduh NPWP Digital Lewat Coretax DJP

Kamis, 15 Mei 2025 | 09:30 WIB
PROVINSI MALUKU

Pemprov Hapus Tunggakan Pajak Kendaraan, Berlaku Mulai Hari Ini

Kamis, 15 Mei 2025 | 09:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Pajak Gabung Suami, Jangan Lupa NPWP Istri Dinonaktifkan Dulu

Kamis, 15 Mei 2025 | 08:30 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Dibiayai Pajak, Cek Kesehatan Gratis Sudah Jangkau 5,3 Juta Orang

Kamis, 15 Mei 2025 | 07:40 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

DJP Diminta Laporkan Sanksi yang Dihapus Akibat Kendala Coretax

Rabu, 14 Mei 2025 | 19:00 WIB
PEREKONOMIAN INDONESIA

Persoalan Pajak Internasional Ikut Dibahas di Pertemuan ADB, Ada Apa?

Rabu, 14 Mei 2025 | 18:30 WIB
KEBIJAKAN ENERGI

Kinerja PNBP Migas Bergantung ke Hal-Hal yang Fluktuatif, Apa Saja?

Rabu, 14 Mei 2025 | 18:00 WIB
CORETAX SYSTEM

WP Diberi Waktu 14 Hari untuk Tanggapi SP2DK, Bisa Lewat Coretax?

Rabu, 14 Mei 2025 | 17:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Pindah KPP, Status Wajib Pajak Kriteria Tertentu Perlu Diajukan Ulang?