Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Literasi
Senin, 03 Maret 2025 | 15:30 WIB
KAMUS KEPABEANAN
Senin, 03 Maret 2025 | 08:00 WIB
FOUNDER DDTC DARUSSALAM:
Jum'at, 28 Februari 2025 | 17:03 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
Jum'at, 28 Februari 2025 | 17:00 WIB
KAMUS KEPABEANAN
Fokus
Reportase

Menyikapi Kasus Pajak Google

A+
A-
1
A+
A-
1
Menyikapi Kasus Pajak Google

Ilustrasi. (Foto: Karen Bleier/AFP/Getty Images)

PEKAN lalu (26/10), pejabat tinggi Google Asia Pasific menemui sejumlah pejabat Ditjen Pajak (DJP) untuk menegosiasikan tagihan pajak yang ditaksir senilai Rp5,2 triliun. Setelah pertemuan itu, tak satu pihak pun mau berkomentar. Baik pejabat tinggi Google maupun DJP sama-sama memilih diam.

Agaknya, memang belum ada kesepakatan di antara keduanya. Negosiasi masih akan berlanjut. Tarik ulur masih terjadi. Pemerintah tetap dalam posisi untuk menagih utang pajak Google selama 5 tahun, sementara Google bertahan dengan klaim, bahwa besaran tagihan seharusnya tak sebesar itu.

Dengan melihat pendekatan komunikasi yang digunakan oleh kedua belah pihak dalam beberapa pekan terakhir ini, sulit untuk tidak sampai pada kesimpulan, bahwa secara umum baik DJP maupun Google tidak menginginkan kasus ini berakhir di meja hijau. Mereka ingin penyelesaian damai.

Baca Juga: Kode Verifikasi untuk Login DJP Online Tak Masuk-Masuk? Coba Cara Ini

Sejauh ini, DJP toh tidak membuat regulasi baru untuk bisa memajaki Google atau juga secara intensif memainkan isu moralitas dalam upaya menagih utang pajak tersebut, seraya mengobarkan ‘sentimen antikebangsaan’ yang mengancam Google, seperti terlihat di Inggris atau beberapa negara lain.

Sebaliknya, dalam berbagai kesempatan Google tetap berkukuh berkomitmen mematuhi peraturan perpajakan di Indonesia, dan juga beritikad baik menemui pejabat DJP. Dengan kata lain, keduanya tidak berniat berhadapan di pengadilan. Keduanya mengedepankan pendekatan kerja sama, dialog.

Tentu itu bukan sesuatu yang buruk. Tapi kita tahu, dengan regulasi yang belum jelas, ada risiko besar, DJP kalah jika membawa kasus ini ke pengadilan. Sementara komitmen Google ‘mematuhi peraturan perpajakan RI’ itu kurang lebih berarti tak mau membayar pajak dalam jumlah yang ditagih DJP.

Baca Juga: Tak Penuhi Panggilan Penyidik Pajak, Tersangka Bisa Dijemput Polisi

Harus diakui, tidak mudah meracik solusi untuk masalah ini. DJP butuh banyak dukungan untuk bisa membuat aturan baru yang dapat memajaki Google hingga 5 tahun ke belakang. Di sisi lain, aturan itu juga tidak boleh melanggar tax treaty yang sudah disepakati Indonesia dengan negara lain.

Itulah barangkali sebabnya kenapa Pemerintah Thailand misalnya, memilih ‘mengikhlaskan’ tagihan pajak Google pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi pada saat yang sama bersiap ‘membalas dendam’ dengan merevisi aturan pemungutan pajak bagi perusahaan internet dan teknologi perusahaan.

Situasinya jadi kompleks karena kasus ini bukan milik Google dan DJP saja. Ada prinsip keadilan pajak yang dipertaruhkan: Mereka yang berpendapatan sama harus dikenakan pajak yang setara, mereka yang berpendapatan tinggi harus membayar pajak lebih banyak dari yang berpendapatan rendah.

Baca Juga: Terbitkan Faktur Pajak Fiktif Rp3 Miliar, Tersangka Ditahan Kejaksaan

Lebih dari 200 tahun silam, Revolusi Prancis telah memberitahu apa risiko yang harus ditanggung apabila negara, atas berbagai pertimbangan politik, enggan menerapkan prinsip keadilan ini. Sudah terlalu banyak contoh dalam sejarah yang menunjukkan apa hasil dari praktik ketidakadilan pajak.

Karena itu, langkah yang dilakukan Pemerintah Inggris untuk menyiasati situasi sulit dalam kasus Google tadi layak dijadikan referensi. Penerbitan diverted profit tax di Inggris yang tak menyalahi tax treaty karena memang bukan pajak penghasilan badan, sudah terbukti efektif memajaki Google.

Pajak tersebut hanya dikenakan jika perusahaan perusahaan penyaluran data melalui internet (Over The Top/ OTT) seperti Google yang enggan mendirikan BUT di dalam negeri diketahui membuat BUT di negara lain yang tarif PPh-nya di bawah 80% dari tarif PPh badan di dalam negeri.

Baca Juga: Cuma Sampai Pukul 15.00, Waktu Pelayanan Kantor Pajak selama Ramadan

Aturan inilah, yang diiringi dengan kampanye antipenghindaran pajak, yang berhasil memaksa Google kemudian mendirikan BUT di Inggris, setelah ‘benteng pertahanan’ terakhirnya yakni tax treaty, tidak bisa lagi melindungi Double Irish Dutch Sandwich, taktik perencanaan pajak agresifnya.

Langkah ini bisa dikaji untuk diterapkan di Indonesia. Apalagi, secara payung hukum, Menteri Komunikasi dan Informatika telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 tahun 2016, yang menyebut bahwa perusahaan OTT di Indonesia wajib membangun BUT, sehingga bisa berstatus wajib pajak.

Tapi kalau langkah ini yang diambil, maka tak ada pilihan lain: Sikap mental DJP dalam kasus pajak Google dengan sendirinya harus mengalami sedikit improvisasi. DJP harus lebih menekan, bukan memfasilitasi. Hak-hak Google tentu tak diabaikan, tapi prinsip keadilan pajak lebih dikedepankan.

Baca Juga: Sanksi Pasal 44B Diperinci, Bisa Secara Alternatif dan Kumulatif

Untuk membangun tekanan itu, paling tidak ada dua hal yang harus disiapkan, yaitu regulasi baru untuk bisa memajaki Google, dan kampanye antipenghindaran pajak. Jika yang pertama ‘membuat’ Google menjadi perusahaan ilegal, yang kedua ‘membuat’ Google menjadi perusahaan tak bermoral.

Tidak ada perusahaan yang mau dicitrakan sebagai perusahaan ilegal atau perusahaan tidak bermoral. Tapi tentu Google tidak akan tinggal diam. Raksasa sebesar dia niscaya sudah berhitung. Namun, atas nama keadilan, untuk kemaslahatan, DJP tidak boleh takut. DJP harus berani menekan.*

Baca Juga: Sedang Musim Lapor SPT Tahunan, DJP Minta WP Waspadai Modus Penipuan

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : kasus pajak google, Ditjen Pajak, BUT, DJP

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 25 Februari 2025 | 13:00 WIB
PELAPORAN SPT TAHUNAN

Ada Libur Lebaran, DJP: Batas Waktu Pelaporan SPT Tahunan Tak Berubah

Selasa, 25 Februari 2025 | 11:09 WIB
KEPATUHAN PAJAK

Jelang Akhir Februari, Sudah 5,03 Juta WP yang Lapor SPT Tahunan 2024

Selasa, 25 Februari 2025 | 09:45 WIB
KANWIL DJP JAKARTA SELATAN II

Ada Perubahan Pelaporan e-SPOP PBB, Kantor Pajak Adakan Sosialisasi

Selasa, 25 Februari 2025 | 09:30 WIB
APBN 2025

Nambah Utang Lewat Obligasi Ritel, Pemerintah Raup Rp37,35 Triliun

berita pilihan

Selasa, 04 Maret 2025 | 18:00 WIB
KPP MADYA TANGERANG

Gagal Daftar NPWP di Coretax, WP Pilih Datang Langsung ke Kantor Pajak

Selasa, 04 Maret 2025 | 17:30 WIB
KEP-67/PJ/2025

Ingat! Tidak Ada Penghapusan Sanksi Telat Upload Faktur Pajak

Selasa, 04 Maret 2025 | 17:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Kode Verifikasi untuk Login DJP Online Tak Masuk-Masuk? Coba Cara Ini

Selasa, 04 Maret 2025 | 15:30 WIB
KABUPATEN BULELENG

Piutang Pajak Menumpuk Rp108 Miliar, Pemkab Didesak Kebut Penagihan

Selasa, 04 Maret 2025 | 15:00 WIB
PMK 17/2025

Simak! Ini Sederet Hak Tersangka dalam Pemeriksaan Penyidikan

Selasa, 04 Maret 2025 | 14:45 WIB
PEREKONOMIAN INDONESIA

Deflasi 0,09 Persen, Kemenkeu Klaim Daya Beli Rakyat Masih Terjaga

Selasa, 04 Maret 2025 | 14:30 WIB
APBN 2025

Dari Uang Pajak! Danantara Bakal Modali Proyek-Proyek Hilirisasi

Selasa, 04 Maret 2025 | 14:00 WIB
KONSULTASI CORETAX

Sudah Bayar PPN dalam PIB, tapi di Coretax PPN-nya Tetap Nol?

Selasa, 04 Maret 2025 | 13:30 WIB
KABUPATEN MALANG

Banyak Warga Bukber selama Ramadan, Pajak Restoran Ditarget Melonjak