Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Literasi
Jum'at, 18 April 2025 | 15:30 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
Kamis, 17 April 2025 | 17:00 WIB
TIPS PAJAK DAERAH
Kamis, 17 April 2025 | 14:00 WIB
KELAS PPh Pasal 21 (12)
Selasa, 15 April 2025 | 18:15 WIB
KETUA MA 1974-1982 OEMAR SENO ADJI:
Fokus
Reportase

Menyikapi Penurunan de Minimis

A+
A-
1
A+
A-
1
Menyikapi Penurunan de Minimis

Ilustrasi. (Foto: icex.es)

BARU-baru ini Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) mengumumkan rencana untuk menurunkan kembali ambang batas bebas bea masuk impor barang kiriman dari semula free-on-board US$75 menjadi US$3. Batas US$75 sendiri sudah diturunkan pada 2018 dari sebelumnya US$100.

Selain ambang batas nilai de minimis itu, pemerintah juga akan menghapus ambang batas nilai barang kiriman bebas pajak impor dari yang berlaku saat ini US$75. Dengan demikian, barang kiriman dengan nilai mulai dari US$1 sudah terkena pajak impor.

Pada saat bersamaan, pemerintah juga memangkas tarif bea masuk dan pajak impor barang kiriman jadi 17%, terdiri atas bea masuk 7,5% dan pajak pertambahan nilai (PPN) 10%. Saat ini, tarif impor 27,5%-37,5% terdiri atas bea masuk 7,5%, PPN 10% dan pajak penghasilan (PPh) 10% dengan NPWP dan 20% tanpa NPWP.

Baca Juga: Bea Masuk Tembus 120%, Kantor Pos Hong Kong Setop Kirim Barang ke AS

Barang kiriman ini salah satu dari 17 objek yang bea masuk impornya dibebaskan seperti diatur Pasal 25 UU No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Bersamaan dengan kategori barang kiriman itu, ada barang pribadi penumpang, barang awak sarana pengangkut, dan barang pelintas batas.

Cuma, pembebasan bea masuk impor barang konsumsi tersebut dibatasi sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu. Karena itu, kita mengenal aturan de minimis, yaitu batas minimal nilai atau jumlah barang yang mendapatkan pembebasan bea masuk impor.

Dahulu, sejak 1996 atau setahun setelah UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berlaku, pemerintah menetapkan nilai de minimis sebesar US$50. Benchmark-nya saat itu adalah negara-negara Asean. Adapun untuk ambang batas jumlah, pemerintah hingga kini tidak menetapkannya.

Baca Juga: Makin Marak Terjadi! Begini Nih 3 Langkah Hadapi Penipuan Catut DJBC

Berbeda dengan banyak negara, Indonesia menggunakan nilai de minimis sebagai discount factor, bukan treshold. Semisal impor FOB US$200 dengan bea masuk 10%. Dengan metode treshold, bea masuknya jadi 10% x 200 = 20. Namun sebagai discount factor, jadi 10% x (200-3) = 19,3.

Ambang batas US$50 ini bertahan sampai 20 tahun, karena pada akhir November 2016 sekonyong-konyong Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menaikkannya menjadi US$100. Padahal, saat itu sedang ramai-ramainya bisnis e-commerce, yang salah satu jalur masuknya barang adalah pengiriman melalui pintu impor.

Kontan saja, aturan ini disambut positif para pelapak di e-commerce, juga pelaku jasa titip (jastip) yang kian marak tahun ini. Akhirnya, seolah menyadari kekeliruan itu, pada 2018 pemerintah memangkas kembali nilai de minimis menjadi US$75, dan hingga kini hendak diturunkan menjadi US$3.

Baca Juga: Bingung Tentukan HS Code Barang? Importir Bisa Ajukan PKSI

Kalau kita bandingkan dengan negara sejenis, nilai US$3 itu relatif sangat rendah. China misalnya, batasnya US$7, Vietnam US$40, Thailand US$49, dan Myanmar US$50. Negara lain memilih batas lebih tinggi seperti Singapura dan Brunei US$291, Filipina US$194, dan Malaysia US$119.

Terlihat nilai de minimis yang akan diterapkan pemerintah jauh lebih rendah ketimbang semua negara itu. Kalau memang bukan benchmark negara-negara tersebut yang dipakai, lalu apa sebenarnya tujuan pemerintah memangkas ambang batas de minimis hingga mendekati 0 ini?

DJBC menyatakan de minimis banyak dimanfaatkan untuk tujuan bisnis. Dengan demikian, persaingan usaha jadi tidak adil. Hal ini terlihat dari dokumen pemberitahuan impor yang nilainya rata-rata US$3,8. Karena itu, perlu mengembalikan level of playing field dan menumbuhkan bisnis lokal jadi tuan rumah di negeri sendiri.

Baca Juga: Bea Cukai Laporkan Tingkat Downtime Sistem TIK Naik pada 2024

Argumentasi DJBC masuk akal. Penurunan nilai de minimis hingga ke US$3 ini untuk melindungi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), bukan memangkas defisit transaksi berjalan, menaikkan penerimaan atau menekan impor barang konsumsi. Namun, yang perlu diingat, perlindungan UMKM ini jelas tidak berdiri sendiri.

Pintu impor khususnya melalui barang kiriman hanyalah satu simpul dari berbagai simpul rantai yang saling terkait satu sama lain di balik upaya pemberdayaan UMKM, hard to tax sector yang selama ini mendominasi struktur perekonomian nasional hingga 65%.

Pokok yang lain berderet mulai dari perizinan, tata ruang, akses pasar, modal, sumber daya manusia, dan seterusnya, yang penanggung jawabnya tersebar di seluruh lapisan pemerintahan dari pusat ke daerah. Karena itu, boleh dibilang, DJBC mengambil risiko sendiri untuk melindungi UMKM.

Baca Juga: Ada Bonus untuk Pihak yang Bongkar Pelanggaran Bea Cukai? Apa Iya?

Ada satu riset menyebut makin kecil de minimis akan meningkatkan entry process sehingga dapat menaikkan biaya administrasi atau halangan dalam perdagangan. Selain itu, makin kecil de minimis akan memicu penyelundupan atau penghindaran pajak seperti underinvoicing dan split shipments.

Riset lain merekomendasikan penggunaan sistem treshold yang lebih sederhana dan mudah dihitung, bukan sistem discount factor yang berlaku di Indonesia saat ini, karena dapat meningkatkan efisiensi proses clearance dan indeks kinerja logistik, sekaligus meningkatkan potensi penerimaan negara.

Itulah beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan DJBC dalam menetapkan de minimis. Ingat, pemerintah sendiri yang menaikkan de minimis dari US$50 ke US$100 pada 2016 hingga masyarakat terbiasa. Begitu pada 2018 pemerintah menurunkannya ke US$75, relatif tidak ada resistensi.

Baca Juga: Pungutan Apa Saja Sih yang Dikenakan atas Barang Impor di Indonesia?

Namun, ketika pemerintah mau menurunkannya lagi ke level US$3, hal ini langsung disambut petisi yang diteken lebih dari 2.000 orang. Mungkin, petisi inilah harga yang harus dibayar akibat main-main dengan kebijakan de minimis. Itu yang perlu diingat. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : de minimis, tajuk, bea cukai

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:00 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN

Dorong UMKM Ekspor, DJBC Tawarkan Pendampingan dan Fasilitas

Selasa, 11 Maret 2025 | 11:30 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Baru Tugas dan Sertifikasi Keahlian Tim Audit, Unduh di Sini!

Sabtu, 08 Maret 2025 | 15:07 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN

Pakai CPD Carnet untuk Touring 3 Negara, Ridwan Hanif: Enggak Ribet!

Sabtu, 08 Maret 2025 | 10:00 WIB
PENGAWASAN CUKAI

DJBC Optimalkan Manfaat DBH CHT untuk Berantas Rokok Ilegal di Daerah

berita pilihan

Minggu, 20 April 2025 | 15:00 WIB
KEBIJAKAN BEA MASUK

Diversikasi Ekspor, Indonesia Sasar Uni Eropa dan Negara Eurasia

Minggu, 20 April 2025 | 14:30 WIB
PEREKONOMIAN GLOBAL

Pemerintah Diminta Dorong WTO Sehatkan Iklim Perdagangan Internasional

Minggu, 20 April 2025 | 14:00 WIB
KERJA SAMA INTERNASIONAL

Temui Delegasi Uni Eropa, Wamendag Bahas Strategi Hadapi Bea Masuk AS

Minggu, 20 April 2025 | 13:00 WIB
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Pemprov Luncurkan Relaksasi Pajak Kendaraan Jilid II, Seperti Apa?

Minggu, 20 April 2025 | 12:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Susun Pembukuan dengan Stelsel Kas, Jangan Lupa Kirimkan Pemberitahuan

Minggu, 20 April 2025 | 11:00 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang Belum Lakukan Penyerahan

Minggu, 20 April 2025 | 10:30 WIB
INSENTIF FISKAL

Dorong Pertumbuhan Sektor Tekstil, Pemerintah Siapkan Aneka Insentif

Minggu, 20 April 2025 | 10:00 WIB
KINERJA PEREKONOMIAN

Utang Luar Negeri Indonesia Tembus US$427 Miliar, Tumbuh 4,7 Persen

Minggu, 20 April 2025 | 09:30 WIB
KANWIL DJP JAKARTA BARAT

DJP Jakbar Perpanjang Kerja Sama Tax Center dengan MNC University