Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Komunitas
Jum'at, 13 Juni 2025 | 14:17 WIB
DDTC ACADEMY - EXCLUSIVE SEMINAR
Jum'at, 13 Juni 2025 | 13:33 WIB
SEKOLAH TINGGI HUKUM INDONESIA JENTERA
Kamis, 12 Juni 2025 | 12:31 WIB
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Kamis, 12 Juni 2025 | 09:33 WIB
DDTC ACADEMY – PRACTICAL COURSE
Fokus
Reportase

Regulasi Disusun, Rasio Net Interest/EBITDA Jadi Patokan Pengurang PPh

A+
A-
3
A+
A-
3
Regulasi Disusun, Rasio Net Interest/EBITDA Jadi Patokan Pengurang PPh

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah tengah menyiapkan ketentuan baru yang menerapkan rasio net interest terhadap earnings before interest, taxes, depreciation and amortization (EBITDA). Topik ini menjadi salah satu pembahasan hangat dan diulas di media nasional pada hari ini, Selasa (17/6/2025).

Rasio net interest terhadap EBITDA akan digunakan untuk membatasi nilai biaya pinjaman yang dapat dibebankan oleh wajib pajak dalam penghitungan PPh terutangnya. Adapun regulasi tersebut termuat dalam transfer pricing country profile yang diunggah oleh OECD.

"Sesuai dengan UU 7/2021, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengubah pendekatannya dari thin capitalization rule menjadi earning stripping limitation sejalan dengan BEPS Action 4," sebut pemerintah Indonesia.

Baca Juga: Polri Bikin Satgassus Penerimaan Negara, Ini Kata Sri Mulyani

Saat ini, nilai biaya bunga yang bisa dibebankan oleh wajib pajak dibatasi hanya menggunakan thin capitalization rule yang ditetapkan oleh Indonesia sejak tahun pajak 2016 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 169/2015.

Dalam PMK tersebut, besaran rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER) yang digunakan untuk membatasi total biaya utang yang dapat dibebankan oleh wajib pajak adalah sebesar 4:1.

Pasal 42 Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022 sesungguhnya sudah memberikan ruang bagi menteri keuangan untuk menggunakan rasio biaya pinjaman terhadap EBITDA.

Baca Juga: Threshold Dinamisasi Angsuran PPh 25 Kini Jadi 125%, Ini Alasan DJP

"Ketentuan mengenai penentuan dan tata cara penerapan penggunaan metode untuk pembatasan jumlah biaya pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri [Keuangan]," bunyi Pasal 42 ayat (2) PP 55/2022.

Namun demikian, PMK khusus mengenai penggunaan rasio biaya pinjaman terhadap EBITDA untuk membatasi biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk penghitungan PPh tak kunjung ditetapkan hingga saat ini.

Meski rasio biaya pinjaman terhadap EBITDA masih belum dipakai untuk membatasi biaya pinjaman yang dapat dibebankan, DJP berwenang mereklasifikasikan utang sebagai ekuitas. Reklasifikasi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan DER pihak independen atau data lainnya.

Baca Juga: SPT Coretax, Ada Lampiran Khusus untuk Perinci Biaya Natura hingga NPL

Selain informasi terkini soal ketentuan EBITDA sebagai pengurang PPh, ada beberapa informasi lain yang juga diulas media nasional pada hari ini.

Di antaranya, diskursus mengenai kenaikan gaji hakim, pembentukan satgas khusus penerimaan negara oleh Polri, dampak konflik Iran dan Israel terhadap kondisi fiskal Indonesia, hingga adanya lampiran penghitungan rasio biaya pinjaman/EBITDA.

Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.

Lampiran Penghitungan Rasio Biaya Pinjaman/EBITDA

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 turut memuat lampiran khusus yang perlu digunakan oleh wajib pajak badan untuk menghitung biaya pinjaman yang dapat dibebankan dalam penghitungan PPh.

Baca Juga: Afiliator e-Commerce Dapat Komisi Jualan, Siapa yang Potong Pajaknya?

Melalui lampiran tersebut, wajib pajak badan menghitung biaya pinjaman yang dapat dibebankan menggunakan debt to equity ratio (DER) ataupun rasio biaya pinjaman terhadap EBITDA.

Penghitungan rasio biaya pinjaman terhadap EBITDA dilakukan pada Lampiran 11B Bagian I, sedangkan penghitungan DER dilakukan pada Lampiran 11B Bagian II. Bila terdapat biaya pinjaman yang tidak dapat dibebankan, biaya pinjaman tersebut dicantumkan dalam Lampiran 11B Bagian III. (DDTCNews)

Satgassus Penerimaan Negara

Polri membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Optimalisasi Penerimaan Negara yang berfungsi mendampingi kementerian dalam meningkatkan penerimaan negara dari berbagai sektor.

Baca Juga: Dapat Surat Bebas PPh Pasal 22, WP Wajib Lapor Realisasi via Coretax

Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara dipimpin oleh Herry Muryanto selaku kepala dan Novel Baswedan sebagai wakil kepala. Selama 6 bulan ini, satgassus telah berkoordinasi dengan berbagai kementerian, mulai dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), hingga Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Terbaru adalah [dengan] Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di mana satgassus turun langsung melihat situasi lapangan di pelabuhan di Jawa Timur pada 7-9 Mei 2025 dan Pelabuhan Benoa Bali pada 11-13 Juni 2025," ujar anggota Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara Yudi Purnomo. (DDTCNews, Kontan)

Perlunya Reformasi Sistem Kehakiman

Ketua DPR Puan Maharani memandang menambah gaji hakim penting sebagai bentuk penghargaan negara terhadap fungsi peradilan. Namun, kenaikan gaji hakim perlu diikuti dengan reformasi sistem kehakiman.

Baca Juga: SPT Era Coretax Muat Lampiran Penghitungan Rasio Biaya Pinjaman/EBITDA

Menurutnya, kenaikan gaji hakim hingga sebesar 280% perlu dibarengi dengan peningkatan kinerja hakim dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Kenaikan gaji diharapkan meminimalisasi penyimpangan di lembaga peradilan.

"Peningkatan gaji harus diiringi dengan perbaikan integritas hakim. Integritas bukan komoditas yang bisa dibeli negara. Ia dibentuk dari sistem etik yang tegas, audit yang ketat, dan keberanian menindak pelanggaran tanpa kompromi," katanya. (DDTCNews)

Dampak Konflik Timteng bagi Indonesia

Ketegangan di Timur Tengah menyusul konflik Iran dan Israel bisa berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Harga minyak mentah saat ini terus meroket hingga menyentuh US$75 per barel.

Baca Juga: Polri Bentuk Satgassus Penerimaan Negara, Sudah Kerja 6 Bulan

Angka tersebut masih di bawah asumsi makro APBN 2025, yakni US$82 per barel. Namun, tren peningkatan harga minyak dunia perlu diwaspadai karena bisa merembet terhadap alokasi subsidi BBM di Indonesia.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan dampak perang Iran-Israel terhadap perekonomian RI belum signifikan. Pemerintah, ujarnya, terus melakukan pemantauan dan mitigasi terhadap beragam risiko yang bisa timbul. (Harian Kompas)

Utang Luar Negeri Terus Naik

Posisi utang luar negeri Indonesia terus menumpuk dalam beberapa bulan terakhir, didorong kenaikan utang luar negeri pemerintah dan Bank Indonesia (BI).

Baca Juga: Validasi PPh PHTB, NIK Pembeli dan Penjual Harus Terdaftar di Coretax

Berdasarkan data BI, posisi utang luar negeri pada April 2025 senilai US$431,5 miliar, naik 8,2% dari outstanding tahun lalu. BI menyatakan kenaikan ULN publik dipengaruhi pelemahan mata uang dolar Amerika Serikat terhadap mayoritas mata uang global. Hal ini menaikkan nominal utang dalam mata uang asing.

Selain itu, perkembangan utang luar negeri pemerintah juga dipengaruhi penarikan pinjaman dan peningkatan investasi asing pada Surat Berharga Negara (SBN) domestik. (Bisnis Indonesia) (sap)

Baca Juga: Tagih Pajak Rp176 Miliar, Juru Sita Bakal Blokir Rekening 139 WP

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : berita pajak hari ini, pengurang PPh, PPh, penerimaan negara, hakim pajak, Iran, subsidi BBM, utang luar negeri

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 10 Juni 2025 | 07:45 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

Perdirjen Baru! DJP Tambah Kelompok yang Masuk PKP Berisiko Rendah

Senin, 09 Juni 2025 | 10:00 WIB
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Single Billing Bikin Pencatatan PNBP Lebih Akurat, Ini Alasannya

Senin, 09 Juni 2025 | 08:30 WIB
PER-8/PJ/2025

Simak, Ini Syarat Notaris/PPAT Bisa Ajukan Validasi Setoran PPh PHTB

Minggu, 08 Juni 2025 | 14:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Kode Billing PPh Final UMKM Pakai 411128-420, Tak Perlu NPWP Lawan

berita pilihan

Selasa, 17 Juni 2025 | 20:00 WIB
PER-8/PJ/2025

PER-8/PJ/2025 Berlaku 21 Mei 2025, Peraturan Dirjen Pajak Ini Dicabut

Selasa, 17 Juni 2025 | 19:30 WIB
PER-7/PJ/2025

Kepala KPP Bisa Tetapkan WP Non-Aktif secara Jabatan, Ini Syaratnya

Selasa, 17 Juni 2025 | 19:15 WIB
CORETAX SYSTEM

Migrasi Data ke Coretax Butuh Waktu Setahun, Ini Penjelasan DJP

Selasa, 17 Juni 2025 | 19:00 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Polri Bikin Satgassus Penerimaan Negara, Ini Kata Sri Mulyani

Selasa, 17 Juni 2025 | 18:30 WIB
KEBIJAKAN CUKAI

Cukai Minuman Berpemanis Batal Dikenakan Tahun Ini, Ini Kata Dirjen

Selasa, 17 Juni 2025 | 18:15 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

Soal Rasio Biaya Pinjaman/EBITDA, DJP Siapkan Kajian

Selasa, 17 Juni 2025 | 18:00 WIB
PER-11/PJ/2025

Ada Pembayaran Uang Muka, Kolom Nama Barang di Faktur Ada Penyesuaian

Selasa, 17 Juni 2025 | 17:30 WIB
PER-11/PJ/2025

Threshold Dinamisasi Angsuran PPh 25 Kini Jadi 125%, Ini Alasan DJP

Selasa, 17 Juni 2025 | 17:00 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah Sudah Bayarkan Gaji ke-13 ASN Senilai Rp32,8 Triliun 

Selasa, 17 Juni 2025 | 16:30 WIB
KOREA SELATAN

Negara Ini Perpanjang Diskon Pajak BBM hingga Agustus 2025