Menimbang Adil-Tidaknya Pemutihan Pajak, Kembali ke Koridor UU HKPD

Warga antre untuk menjalani pemeriksaan nomor fisik kendaraannya di Samsat Kawaluyaan, Bandung, Jawa Barat, Senin (24/3/2025). Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengadakan program pemutihan pajak kendaraan bermotor yang berlaku mulai 20 Maret hingga 6 Juni 2025, pada program pemutihan tersebut masyarakat Jawa Barat mendapatkan pembebasan tunggakan pokok pajak kendaraan serta denda pajak yang terakumulasi dari tahun-tahun sebelumnya. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/Spt.
KOLOM komentar akun medsos milik Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dipenuhi ratusan komentar warga. Dalam unggahannya, mantan bupati Purwakarta itu mengumumkan perpanjangan periode pemutihan pajak kendaraan bermotor (PKB) hingga Juni 2025.
Ragam reaksi lantas terlontar dari ketikan netizen. Jelas banyak yang setuju dengan dibebaskannya tunggakan pajak kendaraan hingga 2024. Namun, sebagian lagi mempertanyakan aspek keadilan di balik kebijakan ini.
"Harusnya adil. Masa yang tidak taat diberi keringanan, yang taat tidak ada diskon kitu teh?" tulis sebuah akun yang ikut meramaikan kolom komentar akun Dedi Mulyadi.
Mengacu pada dokumen Keputusan Gubernur, pemutihan pajak diberikan berdasarkan 4 alasan. Pertama, masih banyak kendaraan bermotor di Jawa Barat yang dimiliki wajib pajak belum atas nama sendiri.
Kedua, perlunya perbaikan ketertiban administrasi wajib pajak. Ketiga, memberikan kepastian hukum. Keempat, meringankan beban masyarakat terhadap kewajiban dalam melakukan balik nama kendaraan bermotor.
Dedi Mulyadi sendiri sempat blak-blakan menyampaikan bahwa pemutihan pajak diberikan untuk meningkatkan kepatuhan pajak warga sekaligus menggenjot penerimaan.
Dia memilih kehilangan potensi pajak kendaraan bermotor senilai Rp30 triliun atas sekitar 6 juta kendaraan yang menunggak lantas memberikan pemutihan, ketimbang harus membiarkan tunggakan itu berlarut. Setidaknya, penerimaan pajak dalam tahun berjalan meningkat.
"Apabila tidak dilakukan, yang dikhawatirkan justru makin banyak warga menunggak dan bahkan tidak membayar pajak sama sekali," kata Dedi.
Dedi berkeyakinan bahwa pemutihan ini akan memberi titik awal baru bagi seluruh wajib pajak untuk memulai kepatuhannya dalam menyetor pajak kendaraan bermotor. Harapannya, penerimaan dari PKB pada tahun-tahun mendatang perlahan meningkat.
Jangan Keluar dari Koridor UU HKPD
Pelaksanaan pemutihan pajak di daerah, dalam konteksnya di banyak daerah, terbatas pada tujuan jangka pendek berupa peningkatan penerimaan pendapatan asli daerah (PAD).
Di Lampung misalnya, dilansir oleh Harian Kompas, pelaksanaan pemutihan pajak kendaraan menjadi strategi untuk mendongkrak PAD. Dari target PAD Lampung pada 2025 senilai Rp4,1 triliun, lebih dari Rp1 triliun disumbang oleh pajak kendaraan bermotor.
Terbatasnya sumber pajak lain di daerah, pada akhirnya, membuat pemerintah setempat menjadikan pajak kendaraan bermotor sebagai jalan singkat sekaligus termudah untuk memastikan kas daerah terisi.
Lantas apakah pemutihan pajak, terutama kendaraan bermotor, yang selama ini sudah berjalan di banyak memang sudah didasari alasan yang ideal?
Undang-Undang (UU) 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) sebenarnya menyediakan pakem-pakem pelaksanaan pemutihan pajak. Meski tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU HKPD, konsep pelaksanaan pemutihan pajak bisa ditemukan pada Pasal 96 dan Pasal 101 UU HKPD.
Pasal 96 UU HKPD mengatur bahwa kepala daerah dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi pajak dan retribusi.
Sementara pada Pasal 101 beleid yang sama, diatur tentang pemberian insentif yang bertujuan untuk menarik investasi. Kepala daerah dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya. Insentif fiskal tersebut bisa berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya.
Secara sederhana, UU HKPD memang memberikan ruang bagi pemda menggulirkan pemutihan pajak daerah.
Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemda sebelum memberikan pemutihan pajak.
Sesuai dengan Pasal 96 UU HKPD, pemberian insentif perlu memperhatikan kondisi wajib pajak atau wajib retribusi dan/atau objek pajak atau objek retribusi.
Sementara pada Pasal 101 UU HKPD, diatur 5 pertimbangan yang menjadi dasar bagi kepala daerah dalam memberikan insentif pajak.
Pertama, kemampuan membayar wajib pajak dan wajib retribusi. Kedua, kondisi tertentu objek pajak seperti objek pajak terkena bencana alam atau kebakaran.
Ketiga, untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro. Keempat, untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah dalam mencapai program prioritas daerah.
Kelima, untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
Dari seluruh pertimbangan-pertimbangan di atas, terlihat jelas bahwa kepentingan wajib pajak mestinya menjadi prioritas bagi pemerintah daerah dalam menimbang perlu-tidaknya diberikan pemutihan pajak. Bukan sekadar untuk menggenjot PAD dalam waktu singkat saja.
Tapi bukannya pemutihan pajak memang tujuannya meringankan beban wajib pajak? Bisa jadi benar, tetapi ada yang dikorbankan, yakni kepatuhan jangka panjang. Ada kekhawatiran yang muncul, wajib pajak cenderung akan menantikan program pemutihan pajak selanjutnya.
Program pengampunan pajak yang diberikan secara berulang akan membuat wajib pajak cenderung menunggu diberikannya pengampunan pajak selanjutnya (Darussalam, 2019). Pernyataan itu tentu relevan dengan program pemutihan pajak yang digulirkan di level lokal.
Kebijakan pemutihan pajak pada akhirnya akan membuat wajib pajak tidak menjalankan kewajiban pajaknya dengan benar. Mestinya, jika pemerintah daerah memberikan pemutihan pajak, tidak boleh ada isu pemutihan pajak berikutnya.
Selain itu, Mardiasmo (2011) memandang keberadaan sanksi pajak masih menjadi salah satu tools penting dalam menunjang kepatuhan pajak. Sanksi pajak merupakan pilihan bagi otoritas untuk memberikan hukuman bagi individu atau badan yang mengabaikan pedoman kedisiplinan.
Karenanya, pemutihan pajak hendaknya digelar dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang diatur dalam UU HKPD, termasuk perencanaan jangka panjangnya. Penegakan hukum terhadap wajib pajak yang tidak patuh juga tetap perlu dijalankan untuk menjaga kepatuhan jangka panjang.
Labih jauh lagi, aspek keadilan juga perlu diperhatikan. Jika yang tidak patuh saja diberi pengampunan, yang patuh tentunya juga diberikan apresiasi yang layak. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.