Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Fokus
Reportase

Perjalanan Bea Masuk sebagai Alat Negosiasi Dagang & Sumber Penerimaan

A+
A-
4
A+
A-
4
Perjalanan Bea Masuk sebagai Alat Negosiasi Dagang & Sumber Penerimaan

Foto udara sejumlah truk peti kemas melintas di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (8/4/2025). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/Spt.

PERDAGANGAN internasional mengalami perkembangan pesat dari waktu ke waktu. Ciri khas dari perdagangan internasional adalah kegiatan perdagangan yang melewati batas-batas negara. Perdagangan internasional muncul karena adanya pelaku usaha, individu, dan pemerintah yang ingin melakukan jual beli barang atau jasa yang diproduksi di negara lain.

Penawaran dan permintaan menjadi dasar dari arus perdagangan, masing-masing negara saling bergantung dan saling mengisi serta memerlukan produk barang maupun jasa. Adanya perdagangan lintas batas ini memberikan multiplier effect, di antaranya terhadap pertumbuhan ekonomi, perkembangan industri, dan pemupukan modal (Purwito dan Indriani: 2015).

Sebelum adanya larangan dari World Trade Organization (WTO), dalam perdagangan internasional dikenal adanya sistem proteksi. Sistem proteksi berupaya untuk melindungi produksi dalam negeri agar dapat bersaing khususnya terhadap barang impor (Purwito dan Indriani: 2015).

Baca Juga: Hadapi Kebijakan Tarif AS, Pemerintah Didesak Beri Insentif Pajak

Instrumen yang digunakan adalah melalui pentarifan, yaitu hambatan tarif. Artinya, suatu negara mengenakan tarif yang tinggi terhadap barang-barang yang sejenis yang berasal dari impor. Tujuan kebijakan ini lebih bersifat politis, yaitu memaksimalkan produksi dalam negeri dan memperluas lapangan kerja (Purwito dan Indriani: 2015).

Peningkatan praktik proteksionisme sempat berlangsung pada kurun 1914 hingga 1945 (masa perang dunia I hingga pasca perang dunia II). Pada masa ini terjadi krisis ekonomi yang parah, termasuk pengangguran massal dan kegagalan sistem ekonomi makro global. Alhasil, banyak negara yang memperketat perekonomiannya serta melakukan proteksi ekonomi dan perdagangan.

Misal, Amerika Serikat (AS) sempat menerapkan Smooth-Hawley Act pada 1930. Melalui undang-undang tersebut, AS menaikkan tarif bea masuk rata-rata dari 39% hingga menjadi 53% (Fuady, 2004). Namun, penerapan undang-undang tersebut justru memperparah depresi ekonomi di AS (Whaples, 1995). Selain AS, sejumlah negara juga turut menerapkan hambatan tarif.

Baca Juga: Alur Impor Barang Pindahan yang Bebas Bea Masuk

Berkaca pada kejadian 1930-an di mana perdagangan dunia justru hancur karena penerapan hambatan tarif, mulailah timbul kesadaran kembali akan pentingnya kebebasan dalam suatu perdagangan internasional. Untuk itu, sistem perdagangan dunia pun mulai direstrukturisasi kembali di antaranya melalui kesepakatan atau perjanjian yang bersifat bilateral dan multilateral.

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) menjadi salah satu persetujuan multilateral terkait dengan perdagangan internasional. Adapun GATT merupakan persetujuan antarnegara yang bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi dan mengurangi tarif serta batasan batasan perdagangan lainnya (UNCTAD, 2003).

Most Favored Nation (MFN) menjadi salah satu prinsip utama dalam GATT. Berdasarkan prinsip ini, suatu kebijakan perdagangan antara negara-negara anggota harus dilakukan atas dasar nondiskriminasi. Artinya, semua negara terikat untuk memberikan perlakuan yang sama dalam kebijakan impor dan ekspor. Misal, suatu negara tidak diperkenankan untuk meningkatkan tingkat tarif yang berbeda pada suatu negara dibandingkan dengan negara lain.

Baca Juga: Insentif Kepabeanan Terealisasi Rp1,33 Triliun pada Kuartal I/2025

Namun, ada beberapa pengecualian terhadap prinsip MFN. Pengecualian itu antaranya berlaku untuk negara-negara dalam suatu wilayah yang dapat membentuk persetujuan perdagangan bebas. Pengecualian lain adalah apa yang disebut dengan ketentuan pengamanan atau safeguard rules. (Barutu, 2007).

Bea Masuk untuk Pengawasan

Sebelumnya, ketika negara di dunia menerapkan kebijakan proteksionisme, penerimaan bea masuk cenderung berkontribusi lebih besar terhadap penerimaan perpajakan sebuah negara. Sebaliknya, penerimaan bea masuk akan mengecil ketika dunia mulai menerapkan sistem perdagangan bebas.

Shome (2014) menjelaskan bea masuk pada awalnya diterapkan untuk melindungi industri di dalam negeri dari gempuran barang impor. Melalui pengenaan bea masuk, produk dari industri domestik diharapkan mampu bersaing dengan barang-barang impor.

Baca Juga: Berangkat Haji 2025? Impor Barang Kiriman Jemaah Bisa Bebas Bea Masuk

Tercapainya kesepakatan pada 1994 dari perundingan perdagangan di bawah GATT (Uruguay Round) makin mendorong liberasi perdagangan (Carlsnaes et al, 2021). Seiring dengan globalisasi, perdagangan bebas pun semakin melesat. Dinamika perdagangan tersebut pada muaranya menggeser fungsi bea masuk dari sebagai sumber penerimaan menjadi fungsi pengawasan lalu lintas barang.

Seiring dengan berkembangnya perdagangan internasional dan perdagangan bebas, pemungutan bea masuk pun cenerung ke arah zero tariff atau tarif nol. Setidaknya antara negara-negara berlaku tarif yang setara dan tidak terlalu tinggi. Hal ini bertujuan untuk menghindari pertimbangan atau pemikiran bahwa tarif dapat digunakan sebagai alat proteksi bagi negara (Purwito, 2010). Baca 'Susutnya Kontribusi Kepabeanan atas Impor pada Penerimaan Perpajakan'.

Namun, di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, AS kini juga kembali menggunakan instrumen bea masuk untuk melindungi perekonomiannya. Sejak Trump dilantik, AS telah mengenakan bea masuk yang lebih tinggi untuk beberapa barang seperti kendaraan bermotor serta alumunium dan baja.

Baca Juga: IMF Dorong Negara Fokus Reformasi Pajak di Tengah Gejolak Tarif AS

Selain itu, AS juga mengenakan bea masuk resiprokal terhadap barang impor dari banyak negara. Makin tinggi defisit neraca dagang AS terhadap negara tersebut, makin tinggi pula bea masuk resiprokal yang diterapkan. Misal, Indonesia tercatat akan dikenakan bea masuk resiprokal sebesar 32%.

White House sempat memperkirakan kebijakan bea masuk Trump akan menghasilkan penerimaan senilai US$6 triliun dalam 1 dekade berikutnya. Bagi Trump, bea masuk sebetulnya tidak hanya untuk kepentingan ekonomi tetapi juga instrumen yang mendukung kebijakan domestik.

Merujuk laman resmi White House, bea masuk resiprokal merupakan kebijakan AS untuk menyeimbangkan kembali arus perdagangan global dengan mengenakan bea masuk ad valorem tambahan pada semua impor dari seluruh mitra dagang kecuali yang ditetapkan lain.

Baca Juga: DJBC Terapkan Secara Penuh CEISA 4.0 Tahap ke-20

Langkah yang ditempuh Trump ini membalikkan pola yang sudah terbentuk di tataran dunia tentang pemungutan bea masuk. Penggunaan bea masuk sebagai instrumen untuk melindungi perdagangan domestik AS, sekaligus menjadi penanda kembalinya praktik proteksionisme.

Sesuai dengan jargon yang diusung sejak pemerintahan Jilid I, Make America Great Again, Trump memilih jalan proteksi untuk membangun kembali kejayaan industri dalam negerinya. Tinggal kita berharap, semoga genderang perang dagang yang ditabuh Trump ini tidak benar-benar berujung pada perang dunia. (sap)

Baca Juga: Pajak Karbon untuk Pengembangan Hidrogen-Amonia Dikenalkan Mulai 2027

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : kepabeanan, bea masuk, impor, ekspor, bea keluar, perdagangan, proteksionisme, perdagangan bebas, Donald Trump

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jum'at, 02 Mei 2025 | 17:30 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN

Keran Ekspor Dibuka Lagi, Penerimaan Bea Keluar Tembaga Rp807,7 Miliar

Jum'at, 02 Mei 2025 | 17:00 WIB
PEREKONOMIAN INDONESIA

Negosiasi dengan AS, Indonesia Dorong Revisi TIFA

Jum'at, 02 Mei 2025 | 15:00 WIB
PEREKONOMIAN INDONESIA

Jelang Diumumkan BPS, Ini Kata Sri Mulyani Soal Ekonomi Kuartal I

Jum'at, 02 Mei 2025 | 14:30 WIB
PMK 25/2025

PMK Terbaru soal Impor Barang Pindahan, Unduh di Sini

berita pilihan

Senin, 12 Mei 2025 | 11:00 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Cakupan Pemeriksaan untuk Tujuan Lain yang Dilakukan Ditjen Pajak

Senin, 12 Mei 2025 | 10:00 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

WP Tak Gubris Surat Teguran DJP, Siap-siap Dapat Surat Tagihan Pajak

Senin, 12 Mei 2025 | 09:00 WIB
KEBIJAKAN BEA CUKAI

DJBC Sebut Pengawasan Barang Ilegal di Medsos Lebih Menantang

Senin, 12 Mei 2025 | 08:30 WIB
PROVINSI JAWA TENGAH

Warga Keluhkan Layanan Pemutihan Pajak ke Ombudsman

Senin, 12 Mei 2025 | 07:45 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Tarif Efektif PPh Final Pasal 15

Senin, 12 Mei 2025 | 07:30 WIB
PMK 118/2024

Kena Sanksi karena Kendala Sistem, WP Bisa Ajukan Penghapusan

Senin, 12 Mei 2025 | 07:15 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

DJP Tak Bisa Awasi Semua Wajib Pajak One On One, Coretax Jadi Solusi?

Minggu, 11 Mei 2025 | 17:22 WIB
KONGRES AKP2I

Ketua Umum AKP2I Suherman Dukung Pembentukan Badan Penerimaan Negara