Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Fokus
Reportase

Risiko Ketimpangan Pascapandemi Mengintai, Pajak Bisa Apa?

A+
A-
3
A+
A-
3
Risiko Ketimpangan Pascapandemi Mengintai, Pajak Bisa Apa?

Ilustrasi. Pekerja menata hasil cetakan kerupuk putih di Pabrik Kerupuk Melati, Jakarta, Sabtu (26/6/2021). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

FAIR shot. Dua kata yang dipilih International Monetary Fund (IMF) dalam laporan Fiscal Monitor edisi April 2021 ini memberikan penekanan krusialnya akses atau kesempatan yang adil pada saat pandemi. Tidak hanya pada vaksinasi, tetapi juga keberlanjutan atau kesuksesan hidup setiap orang.

Ya, IMF menyoroti risiko ketimpangan pascapandemi Covid-19. Ketimpangan yang sudah ada sebelumnya telah memperburuk Covid-19, misalnya karena masalah akses layanan kesehatan. Di sisi lain, Covid-19 juga memperburuk ketimpangan itu sendiri, misalnya dampak terhadap pendapatan.

“Lingkaran setan seperti itu berisiko membuka celah seismik di tatanan sosial,” ujar Director Fiscal Affairs Department IMF Vitor Gaspar.

Baca Juga: Tax Amnesty Berulang Dikhawatirkan Gerus Kepatuhan WP

Dari pengalaman pandemi SARS (2003), H1N1 (2009), MERS (2012), Ebola (2014), dan Zika (2016), rata-rata ketimpangan pendapatan di negara-negara terdampak akan naik selama 5 tahun setelah peristiwa. Efeknya akan lebih parah ketika ada kontraksi ekonomi (Furceri, Loungani, Ostry, dan Pizzuto, 2020).

Proyeksi jangka pendek World Bank dan IMF pun menunjukkan kemiskinan ekstrem di seluruh dunia serta ketimpangan pendapatan negara berpenghasilan rendah dan negara berkembang kemungkinan akan meningkat pada 2020.

Pasalnya, pandemi Covid-19 berdampak besar pada pasar tenaga kerja. Apalagi, ada juga pengaruh digitalisasi. Fenomena kehilangan pekerjaan dan pendapatan kemungkinan besar akan paling parah menimpa pekerja berketerampilan rendah dan tidak berpendidikan.

Baca Juga: Agar Sukses, WP Harus Percaya Tax Amnesty Hanya Digelar Sekali

Pasar modal juga punya andil terhadap ketimpangan. Intervensi kebijakan moneter pada masa pandemi bertujuan baik. Kemungkinan besar telah membantu mencegah kebangkrutan dan mempertahankan pekerjaan. Namun, ada efek kenaikan nilai aset yang dipegang orang kaya (Ferreira, 2021).

Gambaran singkat itu setidaknya menjelaskan ada risiko peningkatan ketimpangan. Apalagi, pada masa pemulihan, pertumbuhan pendapatan rumah tangga miskin sering kali lebih lambat. Kondisi itu dipengaruhi hilangnya sumber daya manusia dan aset selama krisis. (Ruth dan Narayan, 2021).

Redistribusi
RISIKO pelebaran ketimpangan jelas membutuhkan intervensi dari pemerintah, termasuk menggunakan kebijakan pajak. Arahnya jelas, kebijakan pajak digunakan untuk melakukan intervensi terkait dengan redistribusi pendapatan.

Baca Juga: Bijak Melihat Pemutihan Pajak: Jangan Cuma Cara Instan Raup Penerimaan

Sejumlah rekomendasi yang diberikan lembaga internasional, seperti IMF, World Bank, dan OECD mengarah pada progresivitas pajak penghasilan (PPh), pajak warisan, hingga pajak kekayaan. Spiritnya sama, yakni agar wajib pajak kaya berkontribusi lebih banyak dalam pendapatan negara.

Maklum, meningkatnya konsentrasi kekayaan telah mendorong seruan pajak berbasis kekayaan. Namun, tantangan ada pada tahap implementasi. Menurut IMF, negara-negara perlu terlebih dahulu fokus pada penutupan celah, progresivitas PPh, serta optimalisasi pajak properti dan warisan.

Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai gambaran awal, berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2020 sebesar 7,07%, naik dibandingkan posisi Agustus 2019 sebesar 5,23%. BPS melaporkan sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja (14,28%) terdampak Covid-19 pada Agustus 2020.

Baca Juga: Jadi Justifikasi Pemutihan, Seperti Apa Tren Piutang Pajak Daerah?

Kondisi itu memengaruhi tingkat kemiskinan dan ketimpangan. Tingkat kemiskinan pada September 2020 sebesar 10,19% atau naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya 9,22%. Kemudian, gini ratio tercatat naik dari 0,391 menjadi 0,399 pada September 2020.

Bersamaan dengan momentum konsolidasi fiskal – dengan fokus mengembalikan defisit anggaran di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) –, pemerintah berencana menyodorkan sejumlah usulan kebijakan pajak melalui revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Untuk merespons isu keadilan dan kesetaraan, pemerintah berencana menerapkan alternative minimum tax (AMT) serta perubahan tarif dan bracket PPh orang pribadi. Pemerintah juga berencana menerapkan skema PPN multitarif.

Baca Juga: Tingkatkan Kepatuhan, Simak Praktik Digitalisasi Pajak Daerah di Dunia

“Asas keadilan dalam perpajakan, di mana yang lemah dibantu dan dikuatkan dan yang kuat membantu dan berkontribusi,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Untuk menjamin perbaikan pelayanan dan pengawasan terhadap wajib pajak kaya (high wealth individual/HWI) pemerintah juga melakukan reorganisasi instansi vertikal DJP. Salah satunya melalui penambahan 18 KPP Madya baru yang beroperasi mulai 24 Mei 2021.

Manager DDTC Fiscal Research Denny Vissaro berpendapat penambahan tax bracket memang tidak bisa menjadi satu-satunya instrumen yang menjadi andalan pemerintah untuk mereformasi pajak orang kaya. Apalagi, jumlah wajib pajak yang akan tercakup dalam tax bracket baru masih sedikit.

Baca Juga: Apa Itu Pemutihan Pajak Kendaraan dan BBNKB?

Berbagai rekomendasi lembaga internasional, sambungnya, layak dipertimbangkan. Salah satunya pajak berbasis kekayaan. Kebijakan tidak hanya menyasar pada penghasilan, tetapi juga dari segi kepemilikan aset atau modal yang merupakan sumber kekayaan terbesar wajib pajak kaya.

Bersamaan dengan hal tersebut peninjauan skema PPh final atas bunga, dividen, royalti, dan penghasilan pasif lainnya juga bisa dilakukan. Progresivitas dan penutupan celah penghindaran pajak terkait dengan penghasilan modal (passive income) selama ini juga menjadi sorotan beberapa lembaga internasional.

“Jika ingin menyasar kepada wajib pajak berpenghasilan tinggi, perlu juga ditinjau skema PPh final di Indonesia karena tarifnya secara umum masih di bawah 30% sehingga dapat menurunkan progresivitas pajak bagi orang kaya,” ujar Denny.

Baca Juga: Menimbang Adil-Tidaknya Pemutihan Pajak, Kembali ke Koridor UU HKPD

Terkait dengan PPh final, DDTC pada tahun lalu telah merilis DDTC Working Paper bertajuk Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia. Download DDTC Working Paper tersebut di sini. Penjelasan Denny mengenai PPh orang pribadi juga anda simak dalam DDTC Podtax.

Pajak Solidaritas
MASIH terkait dengan kekayaan, salah satu rekomendasi skema kebijakan yang layak dipertimbangkan adalah pajak solidaritas (solidarity tax). Skema pajak ini bisa menjadi alternatif kebijakan dalam rencana revisi UU KUP.

Pajak solidaritas umumnya merupakan pungutan tambahan, baik subjek, objek, maupun tarif, di luar hukum pajak yang sudah ada. Konteks pungutan tersebut juga umumnya berorientasi secara spesifik untuk tujuan suatu hal. Dalam konteks saat ini, pengadaan vaksin dan bantuan sosial bisa menjadi tujuan. Simak Kamus ‘Apa Itu Pajak Solidaritas?’.

Baca Juga: Pemutihan Pajak Setiap Tahun: Demi Penerimaan atau Populisme Belaka

Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan setidaknya terdapat tiga argumen yang relevan mengenai perlunya kehadiran pajak solidaritas. Pertama, adanya kebutuhan yang tinggi untuk membiayai penanganan pandemi Covid-19 sehingga membutuhkan gotong royong dari masyarakat.

Kedua, pajak solidaritas bermaksud untuk menjamin pemulihan ekonomi yang inklusif dan menjadi cermin fungsi pajak yang bersifat redistributif. Ketiga, pajak solidaritas dapat mendorong ketersediaan penerimaan jangka pendek.

“Kelebihannya, pajak solidaritas tidak akan menciptakan distorsi bagi perilaku kepatuhan pajak jangka panjang,” ujar Darussalam.

Baca Juga: Apakah Tax Amnesty Bisa Ungkit Perekonomian? Begini Penjelasannya

Program pajak solidaritas harus mencerminkan semangat sharing burden yang lebih adil. Oleh karena itu, akan lebih baik jika dikenakan kepada kelompok kaya dan/atau yang masih mempunyai tambahan kemampuan ekonomis yang tinggi di saat pandemi

Namun, perlu dipertimbangkan pula sifat filantropi dan kepedulian manusia Indonesia. Oleh karena itu program pajak solidaritas dapat bersifat terbuka untuk siapapun. Simak Perspektif ‘Saatnya Saling Menopang, Saatnya Pajak Solidaritas’.

Harus diakui, risiko makin buruknya kondisi ketimpangan di dunia, termasuk Indonesia, di depan mata. Tentu saja, risiko ini perlu dimitigasi sejak awal melalui berbagai skema kebijakan yang memang diarahkan untuk pemulihan ekonomi pascapandemi.

Baca Juga: Ditanya DPR Soal Rencana Pemajakan Sektor Digital, Begini Respons DJP

Jangan sampai pemulihan ekonomi yang terjadi tidak inklusif, bahkan memperlebar ketimpangan. Perlu juga dicatat, pajak merupakan salah satu instrumen kebijakan. Bukan panasea. Kebijakan fiskal lainnya, terutama yang berkaitan langsung dengan masyarakat terdampak, juga dibutuhkan. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : kebijakan pajak, ketimpangan, pandemi, fokus

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jum'at, 28 Februari 2025 | 19:00 WIB
PMK 15/2025

Pemeriksaan Terfokus, Pemeriksa Wajib Sampaikan Pos SPT yang Diperiksa

Selasa, 25 Februari 2025 | 11:31 WIB
PMK 15/2025

Aturan Baru Soal Jangka Waktu Pengujian, Apa Beda dengan Aturan Lama?

Senin, 17 Februari 2025 | 14:05 WIB
PMK 15/2025

Sekarang Ada 3 Tipe Pemeriksaan dalam Uji Kepatuhan, Begini Detailnya

Selasa, 07 Januari 2025 | 11:30 WIB
KEBIJAKAN ENERGI

APBN 2025 Targetkan Lifting Migas 1,6 Juta Barel, Ada Sanksi bagi KKKS

berita pilihan

Minggu, 11 Mei 2025 | 17:22 WIB
KONGRES AKP2I

Ketua Umum AKP2I Suherman Dukung Pembentukan Badan Penerimaan Negara

Minggu, 11 Mei 2025 | 15:35 WIB
KONGRES AKP2I

Suherman Saleh Terpilih sebagai Ketua Umum AKP2I periode 2025 - 2030

Minggu, 11 Mei 2025 | 15:00 WIB
BEA CUKAI JATENG DIY

Lagi-Lagi Rokok Ilegal, Diangkut Truk dan Ditutupi Air Mineral Kemasan

Minggu, 11 Mei 2025 | 14:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

UMKM Ini Bingung Kode Billing Ditolak, Ternyata Omzet Belum Rp500 Juta

Minggu, 11 Mei 2025 | 12:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Ingat Lagi, Ini Kriteria Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Minggu, 11 Mei 2025 | 11:30 WIB
KEBIJAKAN MONETER

Rupiah Melemah, Cadangan Devisa RI Turun Hampir US$5 Miliar

Minggu, 11 Mei 2025 | 11:00 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Sederet Layanan yang Diberikan oleh Kring Pajak

Minggu, 11 Mei 2025 | 10:30 WIB
KOTA PEKANBARU

Disokong PBJT dan Opsen PKB, Realisasi PAD Capai Rp320 Miliar

Minggu, 11 Mei 2025 | 10:00 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

DJP: 3.794 WP Ajukan Pengurangan Angsuran PPh 25 pada 2024