Perdirjen Baru! DJP Tambah Kelompok yang Masuk PKP Berisiko Rendah

Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) mengatur ulang ketentuan penetapan pengusaha kena pajak (PKP) berisiko rendah yang berhak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak (restitusi). Hal ini dituangkan dalam Peraturan Dirjen PER-6/PJ/2025.
PER-6/PJ/2025 menyesuaikan ketentuan seputar penetapan PKP berisiko rendah yang sebelumnya diatur dalam PER-4/PJ/2021. Selain itu, PER-6/PJ/2025 diterbitkan untuk menyesuaikan tata cara restitusi dipercepat.
Sesuai dengan ketentuan, PKP berisiko rendah merupakan salah satu pihak yang berhak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak masukan (restitusi) pada setiap masa pajak. Pengembalian kelebihan pajak masukan tersebut dilakukan dengan skema restitusi dipercepat.
Tentu tidak semua pihak bisa dikategorikan sebagai PKP berisiko rendah. Adapun PER-6/PJ/2025 menetapkan ada 9 pihak yang termasuk PKP berisiko rendah.
Apabila disandingkan dengan PER-4/PJ/2021, PER-6/PJ/2025 kini menambah PKP yang memenuhi ketentuan wajib pajak persyaratan tertentu sebagai PKP berisiko rendah. Namun, pengkategorian wajib pajak persyaratan tertentu sebagai PKP berisiko rendah bukanlah ketentuan baru.
Sebelumnya, pengkategorian wajib pajak persyaratan tertentu sebagai PKP berisiko rendah telah diatur dalam PMK 117/2019. Adapun PMK 117/2019 merupakan perubahan pertama atas PMK 39/2018 yang mengatur soal tata cara restitusi dipercepat.
Selain itu, PER-6/PJ/2025 menegaskan kembali bahwa wajib pajak persyaratan tertentu dikategorikan sebagai PKP berisiko rendah tanpa perlu menyampaikan permohonan penetapan. Hal ini sebelumnya telah diatur dalam Pasal 14 ayat (8) PMK 39/2018 s.t.d.t.d PMK 119/2024.
Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) PMK 39/2018 s.t.d.d PMK 209/2021, ada 4 pihak yang termasuk wajib pajak persyaratan tertentu. Pertama, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar restitusi.
Kedua, wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp100 juta.
Ketiga, wajib pajak badan yang menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp1 miliar. Keempat, PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp5 miliar.
PER-6/PJ/2025 juga menyesuaikan ketentuan percepatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang memenuhi persyaratan tertentu. Sebelumnya, ketentuan tersebut diatur dalam PER-5/PJ/2023.
Selain berita mengenai penetapan PKP berisiko rendah, ada pula beberapa informasi lain yang diulas oleh media nasional pada hari ini. Di antaranya, urgensi pemajakan bagi pemengaruh (influencer), naiknya angka kemiskinan nasional, hingga masih ditunggunya ketentuan teknis mengenai PPh final UMKM 0,5%.
Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.
Pengawasan Pajak bagi Influencer
Influencer dan content creator menjadi segmen potensial bagi pemerintah untuk memperluas basis pajaknya. Namun, pemerintah dinilai belum mampu mengoptimalkan kontribusi pajak dari sektor itu.
Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan Ditjen Pajak (DJP) saat ini telah melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap influencer hingga content creator. Namun, keterbatasan klasifikasi data dan struktur sektoral menjadi tantangan tersendiri.
Menurut Yon, salah satu tantangannya adalah profesi influncer kerap kali tumpang tindih dengan profesi lainnya. Tak cuma itu, profesi tersebut belum memiliki klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) tersendiri. (Harian Kontan)
Menanti Aturan PPh Final UMKM 0,5%
Hingga pertengahan 2025, pelaku UMKM masih menanti kejelasan aturan terkait dengan berlanjutnya fasilitas tarif PPh final 0,5%. Belum adanya aturan teknis mengenai PPh final UMKM dikhawatirkan akan memberikan ketidakpastian.
Wajib pajak mempertanyakan status penggunaan tarif 0,5% pada 2025 ini, khususnya setelah masa berlaku 7 tahun berakhir sesuai dengan PP 55/2022. Merespons hal ini, DJP menekankan bahwa hingga saat ini belum ada ketentuan baru terkait dengan perpanjangan tarif pajak tersebut.
"Dikarenakan saat ini belum ada ketentuan terbaru yang mengatur terkait perpanjangan PPh final UMKM 2025, maka untuk jangka waktu tetap mengikuti ketentuan PP 55/2022," tulis Kring Pajak. (Harian Kontan)
Pencatatan PNBP Lebih Akurat
Kementerian Keuangan telah menerapkan penyatuan penyetoran atau single billing penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atas jasa yang diberikan instansi pemerintah dalam proses kedatangan dan keberangkatan kapal.
Metode single billing ini membuat proses pembayaran PNBP lebih mudah dilaksanakan oleh pengguna jasa. Sementara bagi Kemenkeu, single billing membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pencatatan PNBP.
"Bukan cuma mempermudah pelaku usaha, penyederhanaan sistem ini juga meningkatkan akurasi PNBP serta memperkuat transparansi dan akuntabilitas pengelolaan #UangKita," bunyi unggahan Kemenkeu. (DDTCNews)
Angka Kemiskinan Naik Signifikan
World Bank baru saja mengubah metode penghitungan garis kemiskinan dari standar purchasing power parity (PPP) 2017 ke PPP 2021. Konsekuensinya, jumlah penduduk miskin di Indonesia melonjak menjadi 194,4 juta jiwa, setara 68,91% dari total populasi.
Dalam skema perhitungan terbaru, World Bank menaikkan garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah dari US$6,85 per hari menjadi US$8,30 per hari. Sementara bagi negara berpendapatan rendah, garis kemiskinan naik dari US$2,15 menjadi US$3 per hari. Untuk negara berpendapatan menengah ke bawah, garis kemiskinan naik dari US$3,65 menjadi US$4,20 per hari.
"Revisi PPP mencerminkan data terbaru mengenai garis kemiskinan nasional yang menunjukkan kenaikan lebih tinggi dibanding perubahan harga, terutama garis kemiskinan ekstrem serta garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas," tulis World Bank. (Harian Kontan)
Kredit Macet Berpotensi Naik
Rasio kredit bermasalah industri perbankan cenderung naik seiring dengan daya beli yang masih melemah. Kondisi ini perlu dicermati dan diantisipasi.
Pada April 2025, rasio kredit macet (non-performing loan/NPL) industri perbankan tercatat 2,24%, naik dibanding Maret 2025 sebesar 2,17%.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae menjelaskan peningkatan kredit bermasalah disebabkan banyak sektor yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19. OJK meminta perbankan hati-hati dalam menyalurkan kredit dan tidak melakukan rekayasa kredit. (Harian Kompas) (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.