Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Fokus
Reportase

Mengantar UMKM Naik Kelas, Beragam Fasilitas Pajak Diberikan Otoritas

A+
A-
13
A+
A-
13
Mengantar UMKM Naik Kelas, Beragam Fasilitas Pajak Diberikan Otoritas

Pekerja menjemur kain saat proses produksi kain pantai di Desa Laban, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (14/9/2024). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/agr

TEORI tak selalu mudah untuk diterapkan. Bagi Nurul (27 tahun), seorang pebisnis kuliner, konsep pembukuan dan pencatatan belum sepenuhnya diterapkan dalam bisnis yang dijalankannya. Baginya, selama bisnisnya berjalan dan menguntungkan, itu sudah cukup. Tak perlu lah, mencatat informasi keuangan usaha.

Namun, ketika tiba waktunya untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan atas pajak penghasilan (PPh), Nurul kelimpungan. Ada kalanya dia lupa detail omzet yang diperoleh. Bahkan dia tidak sepenuhnya memahami mengenai kewajiban perpajakan yang perlu dipatuhi oleh pelaku UMKM. Ujung-ujungnya, Nurul tidak tahu persis berapa pajak yang perlu dibayarkan.

"Ternyata perlu ya, pencatatan? Selama ini saya sering terkendala karena uang pribadi dan uang usaha tercampur jadi satu," kata Nurul.

Baca Juga: Demi Tip Bebas Pajak, Trump Ingin Naikkan Tarif PPh Orang Kaya

Ketidaktahuan Nurul mengenai aspek pajak bagi UMKM dan ilmu mengenai akuntansi perpajakan akhirnya terjawab melalui Business Development Services (BDS), sebuah program pendampingan UMKM yang dijalankan oleh Ditjen Pajak (DJP). Melalui BDS, Nurul mendapat penjelasan secara komprehensif mengenai kewajiban pajak yang perlu dijalankannya dan tip serta trik yang bisa dia lakukan agar bisnisnya lebih berkembang.

"Tak cuma soal informasi perpajakan, BDS juga memberi saya kesempatan untuk bertemu dengan pelaku UMKM lainnya dan saling bertukar pikiran mengenai usaha yang dijalankan. Salah satunya, bagaimana menjalankan promosi yang efektif," katanya.

Nurul tidak sendiri. Total, ada 65 juta pelaku UMKM di Indonesia hingga 2024, berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM. Angka tersebut menyumbang lebih dari 60% PDB Indonesia dan menyediakan lapangan kerja bagi jutaan pekerja. Ujungnya, keberadaan UMKM ikut mengurangi pengangguran.

Baca Juga: Pemkab Raup Rp18 Miliar dari Penerapan Opsen PKB dan BBNKB

Keberadaan Nurul dan puluhan juta UMKM lainnya di Indonesia sudah terbukti tahan banting. Kementerian Keuangan merekam sektor UMKM ampuh bertahan hidup melewati krisis ekonomi skala besar pada 1998 dan 2008.

Pada 1998, di tengah krisis moneter dahsyat, hanya 34% pelaku UMKM yang omzetnya anjlok. Pada 2008, buntut dari kredit macet perumahan di Amerika Serikat, UMKM mampu menjaga pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8%. Ada andil konsumsi rumah tangga yang masih tinggi pada saat itu.

Besarnya kontribusi UMKM terhadap perekonomian RI, membuat pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap sektor ini. Sejumlah fasilitas telah diberikan, termasuk terkait dengan kebijakan pajak, untuk mendukung pengembangan UMKM.

Baca Juga: Bijak Melihat Pemutihan Pajak: Jangan Cuma Cara Instan Raup Penerimaan

Salah satu dukungan yang diberikan melalui DJP adalah program pengembangan usaha yang disediakan khusus bagi pelaku UMKM berjuluk Business Development Services (BDS). Program ini merupakan salah satu strategi pembinaan dan pengawasan terhadap wajib pajak UMKM utnuk mengembangkan usahanya.

Program BDS telah direncanakan melalui penelitian dan kajian sejak 2014. Namun, implementasi penuhnya baru berjalan mulai 2018 sebagai bagian dari edukasi pajak.

Saat ini, BDS telah diterapkan di seluruh kantor pelayanan pajak di Indonesia. Untuk mengembangkan bisnis UMKM, DJP menyediakan berbagai tema pendampingan dalam BDS. Antara laiun, business scale up, branding, digital marketing, ekspor, pengadaan, pembukuan dan akuntansi, legal dan perizinan, keuangan, dan perpajakan.

Baca Juga: Tingkatkan Kepatuhan, Simak Praktik Digitalisasi Pajak Daerah di Dunia

Ada dua metode dalam BDS. Metode independen dan kolaboratif. Dengan metode independen, KPP melakukan pembinaan usaha kepada UMKM secara mandiri tanpa ada kerja sama dengan instansi lain.

Dengan metode kolaborasi, DJP dapat bekerja sama dengan lembaga pemerintah, asosiasi bisnis, kementerian, serta pihak lain.

Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero mengapresiasi pendekatan yang dijalankan DJP terhadap pelaku UMKM. Namun, dia memberikan catatan perbaikan. Menurutnya, DJP harus memberikan intonasi yang menyejukkan bagi pelaku UMKM. Fiskus, menurutnya, harus memosisikan diri sebagai mitra bagi wajib pajak UMKM.

Baca Juga: Apa Itu Pemutihan Pajak Kendaraan dan BBNKB?

"Memang approach-nya yang harus kita ubah, dan percayalah bahwa pelaku UMKM punya prinsip yang wise, mau memberikan kontribusi bagi bangsanya. Semuanya tergantung bagaimana cara kita mengkomunikasikan kebijakan. Daripada mengatakan 'ayo membayar pajak', lebih baik UMKM diajak memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsanya," kata Edy.

Tantangan dari UMKM

BESARNYA jumlah pelaku UMKM di Tanah Air juga meninggalkan tantangan bagi otoritas pajak. Banyaknya pelaku UMKM belum sejalan dengan pemenuhan kewajiban perpajakannya.

DJP mencatat hingga 2022, dari 65 juta pelaku UMKM di Indonesia, baru sekitar 2,3 UMKM yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Jumlah wajib pajak terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan dan angka penerimaan pajak yang berasal dari UMKM terbilang jauh dari kondisi yang seharusnya.

Baca Juga: Menimbang Adil-Tidaknya Pemutihan Pajak, Kembali ke Koridor UU HKPD

Kontradiksi yang terjadi menunjukkan UMKM masih tergolong sebagai shadow economy di Indonesia. Shadow economy, atau kerap juga disebut underground economy, merupakan sektor ekonomi yang selama ini tak tersentuh sistem perpajakan.

Belum cakapnya pelaku usaha dalam menjalankan pembukuan menjadi salah satu faktor yang membuat UMKM masuk hard-to-tax sector. Pengenaan pajak bagi pelaku UMKM pun belum bisa diperlakukan dengan ketentuan umum atau normal seperti sektor formal.

Pendekatan Kelompok Shadow Economy

MERESPONS fakta basis pajak pada sektor UMKM yang belum terpetakan dengan baik, pemerintah pun melakukan modifikasi pendekatan. Konsep presumptive tax digunakan untuk meningkatkan kepatuhan pajak para pelaku UMKM.

Baca Juga: Pemutihan Pajak Setiap Tahun: Demi Penerimaan atau Populisme Belaka

Simplifikasi perhitungan pajak dikenalkan melalui konsep pajak penghasilan (PPh) final. Rezim ini sekaligus menjadi jembatan bagi sektor informal untuk beralih ke sektor formal agar mulai masuk sistem administrasi perpajakan.

Jurus pendekatan pertama diluncurkan pada 2013 melalui Peraturan Pemerintah (PP) 46/2013. Pemerintah menawarkan perhitungan pajak secara sederhana dengan tarif PPh final 1% dari omzet. Beleid ini menyasar wajib pajak yang menjalankan usahanya dengan peredaran bruto di bawah Rp4,8 miliar.

Namun, keringanan yang ditawarkan melalui PP 46/2013 masih memunculkan celah penghindaran pajak. Salah satunya dikarenakan tidak adanya batas waktu penggunaan rezim PPh final. Selama wajib pajak memiliki bisnis dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun, mereka bisa menggunakan tarif PPh final.

Baca Juga: Kanwil DJP Jatim II Adakan Program BDS untuk Komunitas Disabilitas

Skema tersebut lantas memungkinkan pelaku usaha untuk dengan sengaja tidak melakukan ekspansi bisnisnya menjadi lebih besar. Bisa saja mereka menjaga omzet di bawah Rp4,8 miliar agar tetap bisa menikmati PPh final 1%. Artinya, PPh final 1% yang disodorkan melalui PP 46/2013 bersifat abadi.

Perubahan kemudian dilakukan pemerintah melalui PP 23/2018 yang mencabut PP 46/2013. Tarif PPh final dipangkas dari 1% menjadi 0,5%. Menyikapi munculnya 'PPh final abadi' maka PP 23/2018 memberlakukan batas waktu pemanfaatan. Beleid ini kemudian terakhir diperbarui melalui PP 55/2022 tanpa mengubah aturan soal batas pemanfaatan PPh final UMKM.

Batas waktu 7 tahun untuk wajib pajak orang pribadi; 4 tahun untuk wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), atau firma; dan 3 tahun untuk wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas (PT).

Baca Juga: Daftar Kode Objek Pajak untuk PPh Final Jasa Konstruksi dan Tarifnya

Selepas jangka waktu pemanfaatan PP 23/2018 habis, wajib pajak harus menghitung PPh-nya berdasarkan pada tarif normal sesuai Pasal 17 UU PPh. Artinya, wajib pajak perlu melakukan pembukuan dan menghitung pajak sesuai dengan tarif normal.

Hal ini sejalan dengan hasil kajian yang disampaikan dalam DDTC Working Paper bertajuk Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia. Pengenaan PPh final secara terus-menerus bisa berisiko menimbulkan suatu perencanaan pajak.

Bagi otoritas pajak, pemberlakuan jangka waktu atas pemanfaatan PPh final 0,5% merupakan pendorong bagi UMKM agar bisa naik kelas. UMKM diharapkan bisa berkembang dengan menaikkan omzet serta skala usahanya menjadi lebih besar.

Baca Juga: Cara Setor PPh Final PHTB dengan Menggunakan Deposit Pajak di Coretax

Hal ini memang selaras dengan tujuan pemerintah memberlakukan PPh final terhadap entitas usaha beromzet kurang dari Rp4,8 miliar per tahun. Kelompok usaha UMKM diharapkan secara bertahap bisa masuk ke dalam sistem perpajakan dan memberikan kontribusinya terhadap penerimaan.

Sebenarnya, selepas pemanfaatan tarif PPh final 0,5% melalui PP 55/2022, pelaku UMKM masih berpeluang mendapat keringanan melalui Pasal 31E UU PPh. Beleid itu menyebutkan bahwa wajib pajak dalam negeri beromzet sampai dengan Rp50 miliar mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum (Pasal 17) yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.

Pelaku UMKM juga masih bisa menggunakan skema norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) agar penghitungan pajak terutang tetap berbasis omzet usaha.

Baca Juga: Penerimaan Tumbuh 2 Digit, Negara Ini Batalkan Kenaikan Tarif Pajak

Masih Dibutuhkannya Fasilitas

MERESPONS kondisi tersebut, Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero memandang pemberian perlakuan pajak khusus bagi UMKM melalui PPh final PP 55/2022 dan Pasal 31E UU PPh masih perlu dilanjutkan. UMKM masih butuh stimulus.

Pemerintah, ujar Edy, perlu mengevaluasi kembali apakah tujuan dari pemberian fasilitas PPh final 0,5% sudah tercapai. Paling mudah adalah dengan menjawab pertanyaan, apakah UMKM benar-benar sudah naik kelas?

"Kalau memang belum tercapai, ya harus dilanjutkan dulu," katanya.

Baca Juga: Tetap Butuh Kepastian Hukum Soal Perpanjangan PPh Final UMKM 0,5%

Ahli Utama Pengembangan Kewirausahaan Kementerian Koperasi dan UKM Hanung Harimba Rachman menilai berbagai insentif dari sisi pajak memang masih diperlukan pelaku UMKM.

Namun, menurutnya ada aspek lain yang perlu diperhatikan ketimbang semata-mata berbicara soal tarif pajak. Menurutnya, aspek krusial yang justru paling dibutuhkan UMKM adalah kepastian berusaha dan kemudahan perizinan. Pelaku UMKM juga membutuhkan jaminan rasa aman saat menjalankan usaha.

“Jadi, self-assessment terkait pajak ini bisa berjalan dengan baik saat wajib pajak UKM ini merasa dijamin,” katanya.

Baca Juga: Aturan PPh Final Pengalihan Hak Tanah dan Bangunan dalam PMK 81/2024

Di sisi lain, Hanung juga berharap agar sosialisasi terkait pelaksanaan pembukuan bagi pelaku UMKM makin digencarkan. DJP, menurutnya, sebagai otoritas yang punya gawe terkait dengan perluasan basis pajak dari sektor UMKM perlu menggenjot lagi pelaksanaan pendampingan pembukuan dan menyederhanakan administrasi perpajakan.

Project Leader UKM Indonesia LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) Dewi Meisari Haryanti, dalam sebuah wawancara, mengatakan sudut pandang pemberdayaan perlu diarahkan untuk pengembangan kapasitas pelaku usaha. Pendampingan terhadap pelaku UMKM memang tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada DJP melalui program Business Development Services (BDS).

Dari sisi urusan pajak, menurutnya, perlu sosialisasi yang lebih masif. Sosialisasi terutama dari sisi teknis pajak. Pasalnya, dari pengalaman pendampingan yang dilakukan Dewi, masih banyak yang mengalami kebingungan dalam pelaporan dan pembayaran pajak.

Baca Juga: PPh Final UMKM Bisa Sampai 2025, DJP Online Dipakai Hingga Daluwarsa

Menurut dia, persoalan administrasi pajak akan lebih efektif jika tidak melakukan pendekatan langsung kepada pelaku UMKM. Pelaku UMKM bisa mendapatkan bantuan dari konsultan pajak. Oleh karena itu, rasio konsultan pajak terhadap jumlah UMKM perlu ditingkatkan.

“Mereka pusing diajarin pajak. Bagaimana caranya agar jasa pendampingan pajak bisa dibuat lebih available sehingga nilai jasanya bisa turun juga. Dengan demikian, affordable bagi UMKM. Bisa juga melalui skema konsultan bisa reimburse subsidinya ke pemerintah. Detailnya perlu dipikirkan,” jelasnya. Baca 'Ketika UMKM Sudah Harus Meninggalkan Rezim PPh Final'.

Alur kebijakan pemerintah untuk mendorong pelaku UMKM masuk ke sektor formal memang menarik untuk ditinjau. Perluasan basis pajak memang mutlak diperlukan oleh negara ini demi menarik penerimaan yang lebih optimal.

Baca Juga: Bingung Pilih Kode Billing untuk PPh PHTB, WP Sambangi Kantor Pajak

Hanya saja, bukan perkara mudah untuk 'memaksa' pelaku UMKM menjalankan kewajiban perpajakannya secara normal dengan optimal. Pemerintah perlu memastikan pelaku UMKM memang siap menuju ketentuan pajak normal. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : fokus, round up, UMKM, PPh final, omzet, PP 55/2022, PP 23/2018, tarif pajak, business development services, BDS, UMKM naik kelas

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Antonius Afna Wisnu Broto

Selasa, 08 Oktober 2024 | 13:00 WIB
Terimakasih penulis menyelami usaha informal berbeda dengan pegawai negeri yang gaji naik terus hasil dari pajak. Usaha di pasar naik turun dan tambah persaingan. Berusaha tetap eksis, tambah pikiran urusan pembukuan. Pilihan pakai final atau pembukuan saat ini sangat membantu pengusaha kecil. Bila ... Baca lebih lanjut
1

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 29 April 2025 | 10:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Perpanjangan Pelaporan SPT Tahunan Juga Bisa untuk WP Badan UMKM?

Senin, 28 April 2025 | 11:00 WIB
KPP PRATAMA SINTANG

Konfirmasi Surat Tagihan karena Telat Bayar, WP Datangi Kantor Pajak

Minggu, 27 April 2025 | 12:00 WIB
FINLANDIA

Geliatkan Ekonomi, Negara Ini Bakal Pangkas Tarif PPh Badan

berita pilihan

Sabtu, 10 Mei 2025 | 07:00 WIB
BERITA PAJAK SEPEKAN

Akhirnya! Akhir Juli Coretax Bakal Bebas dari Gangguan Sistem

Jum'at, 09 Mei 2025 | 20:00 WIB
KEBIJAKAN PERPAJAKAN

Berangkat Haji 2025? Impor Barang Kiriman Jemaah Bisa Bebas Bea Masuk

Jum'at, 09 Mei 2025 | 19:30 WIB
AMERIKA SERIKAT

IMF Dorong Negara Fokus Reformasi Pajak di Tengah Gejolak Tarif AS

Jum'at, 09 Mei 2025 | 19:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Akibat Lebih Bayar 2024, PPh Pasal 21 Januari-Februari 2025 Tertekan

Jum'at, 09 Mei 2025 | 18:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Terbit STP, WP Bisa Ajukan Pengurangan/Penghapusan Sanksi

Jum'at, 09 Mei 2025 | 18:14 WIB
DDTC ACADEMY – PERSONALISED TRAINING

DDTC Academy Gelar In-House Training soal Pajak Minimum Global

Jum'at, 09 Mei 2025 | 18:00 WIB
KAMUS PAJAK

Apa Itu Standar Pemeriksaan Pajak?

Jum'at, 09 Mei 2025 | 17:30 WIB
AMERIKA SERIKAT

Demi Tip Bebas Pajak, Trump Ingin Naikkan Tarif PPh Orang Kaya

Jum'at, 09 Mei 2025 | 17:00 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN

DJBC Terapkan Secara Penuh CEISA 4.0 Tahap ke-20

Jum'at, 09 Mei 2025 | 16:30 WIB
KEPATUHAN PAJAK

Belum Lapor SPT Tahunan, Bersiap Dikirim Surat Teguran dari DJP