Ada Penyesuaian Penghitungan PPh Pasal 25, Apa Saja yang Berubah?

ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – PMK 81/2024 menyesuaikan ketentuan penghitungan angsuran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi beberapa jenis wajib pajak. Mereka adalah wajib pajak baru, bank, BUMN, BUMD, wajib pajak masuk bursa, wajib pajak lainnya yang wajib membuat laporan keuangan berkala, serta wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (OPPT).
Penyesuaian ketentuan tersebut dilakukan melalui Pasal 226 hingga Pasal 237 PMK 81/2024. Sebelumnya, ketentuan penghitungan PPh Pasal 25 bagi wajib pajak tersebut diatur dalam PMK 215/2018. Kini, berlakunya PMK 81/2024 mencabut dan menggantikan PMK 215/2018.
“PMK 215/PMK.03/2018 ... dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” bunyi Pasal 483 angka 27 PMK 81/2024, dikutip pada Selasa (22/4/2025).
Dengan demikian, per 1 Januari 2025 ketentuan penghitungan PPh Pasal 25 bagi wajib pajak tersebut mengacu pada PMK 81/2024. Apabila disandingkan setidaknya ada 5 poin penyesuain ketentuan penghitungan PPh Pasal 25 antara PMK 215/2018 dan PMK 81/2024.
Pertama, apabila terdapat kelebihan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 akibat penghitungan ulang maka kelebihan tersebut dapat dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Pengembalian yang dimaksud adalah pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atau dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh. Ketentuan pengembalian kelebihan setoran PPh Pasal 25 itu diatur dalam Pasal 230 ayat (5) PMK 81/2024.
Sebelumnya, berdasarkan Pasal 6 ayat (5) PMK 215/2018, kelebihan setoran angsuran PPh Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke angsuran PPh Pasal 25 masa-masa pajak berikutnya.
Kedua, apabila laporan keuangan tahunan belum tersedia sampai dengan batas waktu penyetoran PPh Pasal 25 karena masih dalam proses audit maka angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak terakhir bagi wajib pajak bank sama dengan angsuran PPh Pasal 25 masa pajak sebelumnya. Hal ini tercantum dalam Pasal 231 PMK 81/2024.
Ketentuan tersebut juga berlaku bagi wajib pajak lainnya dan wajib pajak masuk bursa yang tidak memiliki kewajiban menyampaikan laporan keuangan kuartal keempat.
Bagi wajib pajak ini besarnya angsuran PPh Pasal 25 masa pajak triwulan pertama tahun berjalan sama dengan angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak terakhir tahun pajak sebelumnya.
Ketiga, beberapa fasilitas perpajakan turut diperhitungkan dalam menghitung angsuran PPh Pasal 25 bagi bank, BUMN, BUMD, wajib pajak masuk bursa, wajib pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala. Hal ini terlihat dari Pasal 232 PMK 81/2024.
Adapun bagi wajib pajak masuk bursa yang sebelumnya memperoleh fasilitas pengurangan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2b) UU PPh (tarif PPh badan 19%) maka tarif tersebut bisa digunakan untuk menghitung angsuran PPh Pasal 25.
Begitu pula dengan wajib pajak yang memperoleh fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% sebagaimana diatur dalam Pasal 31E UU PPh pada tahun pajak sebelumnya. Bagi wajib pajak penerima fasilitas itu angsuran PPh Pasal 25 yang terutang dihitung dengan tarif Pasal 31E UU PPh.
Selanjutnya, wajib pajak bank, BUMN, BUMD, wajib pajak masuk bursa, dan wajib pajak lainnya yang diharuskan membuat laporan keuangan, yang berhak atas fasilitas pembebasan atau pengurangan PPh Badan maka angsuran PPh Pasal 25 yang terutang memperhitungkan fasilitas tersebut.
Keempat, bank, BUMN, BUMD, wajib pajak masuk bursa, dan wajib pajak lainnya yang diharuskan membuat laporan keuangan, harus menyampaikan laporan penghitungan angsuran PPh Pasal 25 maksimal 20 hari setelah berakhirnya periode pelaporan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 233 PMK 81/2024.
Kelima, angsuran PPh Pasal 25 bagi wajib pajak OPPT ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha termasuk tempat usaha yang berada di tempat tinggal wajib pajak. Hal ini diatur dalam Pasal 236 ayat (1) PMK 81/2024.
Sebelumnya, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PMK 215/2018, angsuran PPh Pasal 25 untuk wajib pajak OPPT, ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal wajib pajak.
Sebagai informasi, PPh Pasal 25 adalah pembayaran PPh secara angsuran dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan setiap bulan setelah dikurangi dengan kredit pajak.
Pembayaran PPh Pasal 25 dimaksudkan agar wajib pajak tidak terlalu terbebani dengan pembayaran pajak sekaligus pada akhir tahun. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU PPh yang memperkenankan pembayaran pajak diangsur atau dicicil di muka dengan pembayaran cicilan setiap bulan.
Angsuran PPh Pasal 25 dibayarkan setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya, dan dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (2) dan Pasal 171 ayat (1) PMK 81/2024.
Secara umum, besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan data SPT Tahunan pada tahun sebelumnya, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan kredit pajak lainnya, kemudian dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.
Namun, formula perhitungan PPh Pasal 25 tersebut tidak berlaku bagi wajib pajak baru, bank, BUMN, BUMD, wajib pajak masuk bursa, wajib pajak lainnya yang wajib membuat laporan keuangan berkala, serta wajib pajak OPPT.
Adapun perhitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 bagi wajib pajak tersebut berdasarkan pada ketentuan tersendiri. Nah, ketentuan inilah yang diatur kembali dalam Pasal 226 hingga Pasal 237 PMK 81/2024. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.